CATATAN ETNIK DALAM PERJALANAN
Pada bagian akhir ini izinkan kami menuliskan kembali segala
sesuatu yang menjadi catatan perjalanan, sejak sebelum, hingga kami kembali
sesudahnya dari Kecamatan Pinogu. Ini adalah catatan harian lengkap dengan
waktu penulisannya.
Selasa,
16 Februari 2016
Pukul
23.14
Bismillahirrahmanirrahim…
Ini adalan perjalanan kami. Perjalanan yang tidak penting
bagi orang lain. Tapi sekali lagi! Ini adalah perjalanan kami ‘para etnik’.
Mulanya sebelum perjalanan ini menjadi satu misi. Ia
hanyalah wacana, tentang --Ekspedisi Pinogu--. Tentang apa yang dihasilkan
dari perjalanan ini, kami letakkan dalam genggaman Sang Illahi. Biarlah kami
sampai dahulu kesana. Lalu kami uraikan apa yang kami temui, dan apa yang kami
alami.
Malam ini, biarlah ia berlalu sebagaimana malam-malam
kemarin berlalu. Biarlah detik mengantarkan kami pada menit yang bergulir cepat.
Ya Illahi. Harapan. Harapan kami manusia begitu panjang.
Semuanya tergantung di awang-awang. Tiada daya dan upaya kami Ya Illahi,
kecuali karena Engkau. Semoga restu bumi dan restu langit atas kami, yang akan
melakukan perjalanan dengan tema –Ekspedisi Pinogu-.
Singkirkan semua keraguan. Lindungi hati kami dari gentar
dan gusar yang mungkin akan hadir besok nanti.
Lindungi kami Ya Illahi.
Rabu,
17 Februari 2016
Pukul
09.00
Kami
terpencar Ya Illahi. Kumpulkan kami lagi.
Pukul
09.25
Sungguh, sejak awal perjalanan ini telah banyak
tantangannya. Menghempaskan semua urat-urat kecil, tapi nyaris. Karena usaha
kami belum lagi maksimal.
Pukul
10:39 (Pesan terakhir yang kami terima dari sahabat Dahnan yang tak bisa ikut
serta dalam perjalanan)
“Dimana
ini?”
Pukul
11:36 (Pesan dibalas oleh sahabiah Mirdayani/Tata)
“Siap,
masih di ‘kota’ gunung Pinogu.
Pukul
12:47
Alhamdulillah, kami sudah berada di Penangkaran Maleo. Suatu
tempat yang indah, dengan sumber mata air panas. Kami berempat dengan kualitas
ganjil (tiga orang sahabat, dan seorang sahabiah). Di tempat ini, tak ada yang
bisa membantah bahwa raja siang dalam tahtanya akan begitu angkuh.
Kami memutuskan mengambil beberapa gambar. Tapi sungguh keangkuhan
sang raja siang terasa hingga mampu melegamkan kulit dalam hitungan detik.
Pukul
12:53
Seorang sahabat merasakan perubahan suhu yang tiba-tiba.
Jika sebelumnya kami meradang di bawah keangkuhan sang raja siang. Di dalam
hutan, keangkuhan itu ditebas oleh rindangnya daun pepohonan hutan. Inilah dia,
salah satu donor oksigen yang dihirup dunia. Perjalanan ini tiba di titik
pertama, di hutan yang masih ‘perawan’.
Kamis,
18 Februari 2015
Pukul
00:50
Kami telah berada di dalam kamar sebuah rumah sederhana,
khas pribumi Gorontalo. Rumah ini seperti rumah induk. Tapi anehnya pemiliknya
tinggal di pondok sederhana di samping rumah. Mereka sungguh sangat ramah.
Sebentar!!! Sebelum mengurai cerita tentang mereka. Kami
ingin menceritakan kembali perjalanan kami kemarin.
Kami kemalaman di jalan ‘manusia’, di dalam hutan.
Satu-satunya bekal makanan yang kami bawa telah kami habiskan di pemberhentian,
di sungai tadi. Bekal air kami tak begitu khawatir ketika itu, karena semua
botol kosong sudah kami isi di sungai. Astaga! Sebelumnya, hal yang demikian
hanyalah tontonan bagi beberapa dari kami. Maka sore itu, fakta-lah yang
berbicara. Kami semua minum air sungai yang rasanya hanya bisa melekat pada
benak masing-masing.
Perjalanan yang kami –Muas, Harvey, Sofyan, Tata- tempuh,
seolah mimpi bagi kami. Sungguh! Yang kami alami sejak dimulainya perjalanan pukul
11.09 siang hingga pukul 20.55 malam. Tak sempat terlintas dalam benak kami
akan kemalaman di hutan, dengan bantuan cahaya seadanya, dari lampu senter hp.
Kami berusaha menuntaskan perjalanan kami hingga ke jembatan penyeberangan.
Pukul
08.06
Alhamdulillah, kami terlelap dalam keletihan dan cerita
‘pertarungan’ antara diri kami. Bukankah dalam pendakian dapat terlihat sifat
asli kita? Begitupun demikian, sifat kami menyeruak dari dalam, tak bisa di
tahan. Dan tentang karakter tersembunyi itu. Biarlah, menjadi cerita kami.
Keramahan Pribumi.
Senang rasanya kami ditunggui sarapan yang nikmat ala
pribumi Gorontalo. Nasi jagung dan lauk pauk yang jarang dapat kami temui di
daerah perkotaan.
Perkembangan infra struktur di kota sepertinya sudah menjadi
sifat. Akan sulit rasanya menemukan keramahan pribumi di tengah kota, yang
memiliki prinsip –Adat bersendikan sara’, sara’ bersendikan kitabullah-.
Jadi sebenarnya, kemakmuran rakyat itu menggunakan tolok
ukur yang mana. Jika mengingat lagi yang mereka tuding sebagai kebutuhan itu
tak lain adalah tuntutan strata sosial.
Disini semua tampak baik, dan memang yang membuat mereka
pribumi merasa kesusahan adalah tuntutan yang datang dari kehidupan kota yang
mengukur semuanya dengan benda yang bernama ‘uang’.
Pernah di ulas di salah satu televisi swasta tentang
kebijakan pendidikan di India. Di sana infra struktur tak terlalu baik, bahkan
sengaja dibiarkan apa adanya tapi tetap di rawat. Namun kualitas semua variabel
input dalam proses pembelajaran memadai, terutama literatur atau sumber belajar
atau bahan bacaan. Sangat berbeda dengan Indonesia yang terus memperbaiki infra
struktur hingga memicu naiknya biaya pendidikan dan rela mencekik pribuminya
sendiri.
Pukul
10.09
Motor ‘Trail’ modif.
Kemarin kami menggunakan kaki untuk mengantarkan kami ke
daerah ini, hingga perbatasan-penyeberangan setidaknya. Hari ini kami ke pusat
Kecamatan Pinogu menggunakan motor ‘trail’ modifikasi. Subhanallah!!! Medan
yang harus dilalui. Sejujur-jujurnya kami dilema. Ingin melanjutkan perjalanan
dengan berjalan kaki kami sangat keletihan. Menempuh perjalanan dengan ojek
motor, juga tak kalah menguras keberanian kami yang memang asing dengan medan
yang harus ditempuh.
Pagi tadi kami masih menggeliat di dalam kamar sederhana
dalam balutan udara dingin yang menusukkan duri-durinya sampai ke
tulang-tulang. Di kamar tamu sebuah rumah milik bibi dan paman sahabat Harvey
Tangahu yang memang tinggal tepat di tepi sungai penyebarangan itu, kami
berbagi tempat tidur. Sahabiah ditempatkan di tempat tidur berkelambu,
sedangkan tiga sahabat dengan ikhlas hati rela tidur di lantai beralaskan tikar
plastik. Tuan rumah pun berbaik hati menyiapkan selimut berupa kain sarung,
seorang selembar.
Dalam memulai hari, kami menyegerakan diri untuk
membersihkan diri di sungai, di bawah jembatan penyeberangan. Kabut menutupi
permukaan air sungai membuat sahabiah dan sahabat waspada. Karena di sungai itu
masih merupakan habitat buaya. Sahabat Sofyan sempat bercanda, “Buaya sungai
ketemu buaya darat.” Astaga! Dalam keadaan seperti ini masih saja ada canda di
antara kami.
Demikian memang, manusia patut waspada terhadap segala
sesuatu. Sementara air yang tak pernah terlena tetap asyik mengalir dari hulu
ke hilir. Pertanyaan yang timbul di benak kami, dari mana air itu dan kemana
muaranya? Sebuah pertanyaan kiasan terhadap hal yang lebih besar: “Alam yang
begitu luas. Hamparan bumi yang terbentang dari timur ke barat, tak dapatkah
memenuhi kebutuhan manusia?”
Pukul
18.27
Kami tiba di pusat Kecamatan Pinogu pukul 11.13. Saat itu
kami baru tahu bahwa posisi ayahanda dari sahabat Harvey Tangahu berada di pusat kabupaten Bone bolango untuk
urusan dinas, sedangkan ibundanya masih sementara mengawasi para pekerja di
perkebunan.
Sejenak kami beristrahat, lalu tiga sahabat menyempatkan
diri ke sungai yang tak jauh dari kediaman keluarga sahabat Harvey Tangahu.
Sungai yang tercemar hanya oleh alam, bukan akibat jahilnya tangan manusia yang
memiliki kecenderungan.
Pinogu ternyata tak berbeda dengan desa-desa pelosok yang
ada di Provinsi Gorontalo. Tapi letak Pinogu yang berada di ujung Gorontalo,
dengan jalanan yang teramat sulit ditempuh membuat kental keyakinan kami bahwa
mesti ada sesuatu disini. Lalu apa itu?
Sore hari ba’da asar, kami memutuskan untuk memulai
pengambilan data. Tujuan kami adalah kantor Kecamatan Pinogu. Tapi kantor
kecamatan tutup, dan pejabat serta stafnya tidak berada di tempat. Sahabat
Sofyan lalu memberi usulan untuk kami mengunjungi setiap dusun untuk memperoleh
data yang kami inginkan. Namun usul itu tidak dapat dilaksanakan karena
terbatasnya waktu yang kami miliki.
Sahabat Harvey Tangahu lalu mengajak kami ke kediaman Bapak
Harun Maini. Beliau dulu pernah menjabat sebagai kepala desa Pinogu sebelum
Pinogu mekar menjadi kecamatan. Beliau juga adalah mantan kepala sekolah dasar
di Pinogu. Dari beliau kami mendengarkan sekelumit kisah tentang Pinogu.
Sebenarnya dalam hal ini beliau ingin bercerita banyak, tapi kondisi kesehatan
beliau tidak memungkinkan untuk hal tersebut. Hanya sekitar tigapuluh menit
kami di rumah beliau, sebelum kami akhirnya mohon diri dan berterima kasih atas
kesediaan beliau memberikan sekelumit kisah Pinogu. Kami juga sempat mengambil
beberapa gambar dengan beliau.
Sebelum waktu magrib menjelang kami kembali ke kediaman
sahabat Harvey Tangahu. Di sana sudah ada buah durian yang menanti. Sahabat
Muas, dan Sofyan, serta sahabiah Tata benar-benar penggila buah yang memiliki
aroma yang khas ini. Kesempatan seperti ini tentu tidak akan kena pasal
“sia-sia”. Usai menyantap durian, kami melanjutkan diskusi kami tentang
ekspedisi tersingkat dalam sejarah ini.
Ini adalah hasil diskusi kami:
· Jika
penerangan telah baik, dan jika signal telepon seluler bisa sampai ke Pinogu,
maka Pinogu akan menjadi kecamatan dengan infra struktur yang baik, saja!
· Akan
berbeda kisahnya jika Pinogu bisa melahirkan putra-putri pribumi yang tidak
saja hebat, pintar, bermartabat, yang tidak saja pandai berbangga akan sumber
daya alamnya. Tapi juga memahami asal-usul/sejarah Pinogu, mampu meneladani
jejak langkah orang-orang terdahulu yang memiliki kesadaran akan hubungan
dengan Sang Khalik dan hubungan dengan sesama.
· Pinogu
membutuhkan pribumi yang memiliki kesadaran berideologi.
Kami telah selesai
dengan perjalanan kami. Data yang kurang akan kami lengkapi di kantor perwakilan
yang terletak di Kecamatan Suwawa Timur. Kami sepakat untuk kembali besok hari,
tapi dengan cara membagi tim dalam dua perjalanan yang akan di tempuh. Tiga
sahabat akan menempuh kembali jalanan setapak di hutan, sedangkan sahabiah akan
menempuh perjalanan dengan ojek motor ‘trail’ modif. Hal ini didasari pada
pertimbangan kondisi sahabiah yang lambat pemulihannya dari rasa letih.
Pukul
21.49
Terkuak sudah apa yang kami rasakan semasa perjalanan di
dalam hutan pada malam itu. Sahabat Sofyan Enjemani merasakan hal yang sama
dengan sahabiah Tata, bahwa ada yang melarang mereka untuk beristrahat terlalu
sering dalam perjalanan. Sesuatu yang tidak tampak oleh mata itu seolah
memotivasi kami untuk menyelesaikan perjalanan setidaknya sampai ke
perbatasan-penyeberangan.
Menurut tutur orang tua dari sahabat Harvey, ular adalah
lawan yang paling sengit bagi para pejalan kaki. Beliau amat bersyukur tak ada
satu pun binatang melata yang menghadang kami. Sahabiah ikut teringat bahwa
ular adalah binatang nocturnal yang beraktifitas mempertahankan hidup di malam
hari.
Sahabat Muas dan Sofyan phobia ular. Rencana perjalanan yang
akan ditempuh besok mulai terasa menggetarkan hati. Demikian juga sahabiah
Tata, jurang yang menganga sebagai bahu jalan menjadi ketakutan tersendiri yang
mulai melekat erat dalam benak.
Entah apa yang akan kami lalui besok dalam hari kalisuwa. Hari yang tidak baik menurut
perhitungan masyarakat Gorontalo.
Pukul 22.35
Bismillahirrahmanirrahim…
Ya
Illahi… Ya Rabb… Ya Rahman… Ya Rahim…
Kami menyebut-Mu dalam hati gentar ini. Kami terbebani dalam
perjalanan ini, tepat ketika ada keinginan untuk membawa hasil.
Niat kami tidak baik dan tidak sopan, seolah kami lebih
kepada kecenderungan. Patahkan harapan kami untuk niat kepulangan kami.
Keyakinan kami menyalahi-Mu Ya Illahi Ya Rabbi. Seolah kami
bisa mengatur semesta, sedangkan kami hanya bagian yang tak bernilai di dalam
tatanan penciptaan semesta alam-Mu yang begitu megah.
Ya Illahi… Ya Rabb… Ya Rahman… Ya Rahim…
Kami merayu kepada-Mu. Lindungah kami dengan angka yang
Engkau ciptakan dan Engkau cintai. Kami merayu-Mu, lihatlah ketidakberdayaan
kami, Ya Illahi.
Salawat dan salam kepada junjungan kami, baginda Rasulullah
Saw juga kepada kerabatnya.
Ya Illahi, maafkan kepura-puraan kami. Entah saling menyenangkan
hati orang lain dengan berbohong adalah kebaikan. Maka biarkan kebaikan ini
kami persembahkan kepada-Mu sebagai tiket kami untuk mendapatkan keselamatan
dari-Mu.
Ya Allah… Ya Fattah…
Ya Karim… Ya Qudus…
Maafkan kami kesombongan kami, dan pembangkangan kami pada
alam jabalrut. Inilah kami Ya Illahi. Kami ciptaan-Mu yang paling hina, tapi
merasa paling baik di antara ciptaan-Mu yang lain.
Ya Illahi… Ya Rabb… Ya Rahman… Ya Rahim…
Bismillahi lahaula walaquwwata illabillah.
Perkenankanlah doa dari kami yang hina ini.
Jumat,
19 Februari 2016
Pukul
19.06
Alhamdulillahirabbil’alamin.
Kami telah diizinkan kembali dengan selamat di Kota Gorontalo. Tinggal tugas
lain yang menanti.
***
Demikian catatan perjalanan kami yang tetap kami jaga
kemasannya dalam bentuk catatan harian. Agar kami bisa sedikit berbagi kepada
khayalak tentang perjalanan ini. Agar kelak jika akses jalan sudah bukan lagi
hambatan. Maka setidaknya kisah perjalanan ke Pinogu melalui jalan setapak di
dalam hutan, dan motor ‘trail’ modif tidak sekedar hadir dalam penuturan,
sebagaimana kebudayaan tutur yang telah lama ada di Gorontalo.
Di akhir bagian ini, kami ingin menambahkan beberapa catatan
pelengkap berikut.
Di zaman yang makin modern. Percayalah, Tuhan menjaga
keseimbangan alam sebagai bentuk eksistensi-Nya.
Di Bumi Gorontalo masih ada kelompok-kelompok primitif yang
enggan mengenal kebudayaan modern. Mereka bermukim di pedalaman hutan sekaligus
menjaga keseimbangannya. Mereka yang masih tetap bertahan dan mempertahankan
cara hidup dengan alam. Mereka disebut suku POLAHI.
Di dalam hutan
Pinogu-pun demikian. Etnik dalam
keheranan, berusaha untuk memahami dan menyadari pertolongan Tuhan dalam gelap.
Bukan tidak mungkin Tuhan memberikan pertolongan-Nya melalui mereka suku Polahi
hutan Pinogu untuk menjaga kami dari binatang buas dan binatang berbisa pada
malam itu. Mereka pula yang menyeru pada sahabat Sofyan dan Sahabiah Tata
ketika itu.
Entah
balasan apa yang pantas kami berikan kepada mereka, dan bagaimana. Hanya doa
yang mengalir untuk mereka semoga selalu dalam perlindungan Tuhan, dan terjaga
hingga akhir hayat bumi. Amin, Amin, Amin Ya Rabbal’alamin.{}