Sabtu, 13 Agustus 2016

PERJALANAN ETNIK (WE are D'ETNIC) KE PINOGU BAGIAN 5.

CATATAN ETNIK  DALAM PERJALANAN


Pada bagian akhir ini izinkan kami menuliskan kembali segala sesuatu yang menjadi catatan perjalanan, sejak sebelum, hingga kami kembali sesudahnya dari Kecamatan Pinogu. Ini adalah catatan harian lengkap dengan waktu penulisannya.
Selasa, 16 Februari 2016
Pukul 23.14
Bismillahirrahmanirrahim…
Ini adalan perjalanan kami. Perjalanan yang tidak penting bagi orang lain. Tapi sekali lagi! Ini adalah perjalanan kami ‘para etnik’.
Mulanya sebelum perjalanan ini menjadi satu misi. Ia hanyalah wacana, tentang --Ekspedisi Pinogu--. Tentang­ apa yang dihasilkan dari perjalanan ini, kami letakkan dalam genggaman Sang Illahi. Biarlah kami sampai dahulu kesana. Lalu kami uraikan apa yang kami temui, dan apa yang kami alami.
Malam ini, biarlah ia berlalu sebagaimana malam-malam kemarin berlalu. Biarlah detik mengantarkan kami pada  menit yang bergulir cepat.
Ya Illahi. Harapan. Harapan kami manusia begitu panjang. Semuanya tergantung di awang-awang. Tiada daya dan upaya kami Ya Illahi, kecuali karena Engkau. Semoga restu bumi dan restu langit atas kami, yang akan melakukan perjalanan dengan tema –Ekspedisi Pinogu-.
Singkirkan semua keraguan. Lindungi hati kami dari gentar dan gusar yang mungkin akan hadir besok nanti.
Lindungi kami Ya Illahi.

Rabu, 17 Februari 2016
Pukul 09.00
Kami terpencar Ya Illahi. Kumpulkan kami lagi.
Pukul 09.25
Sungguh, sejak awal perjalanan ini telah banyak tantangannya. Menghempaskan semua urat-urat kecil, tapi nyaris. Karena usaha kami belum lagi maksimal.
Pukul 10:39 (Pesan terakhir yang kami terima dari sahabat Dahnan yang tak bisa ikut serta dalam perjalanan)
“Dimana ini?”
Pukul 11:36 (Pesan dibalas oleh sahabiah Mirdayani/Tata)
“Siap, masih di ‘kota’ gunung Pinogu.
Pukul 12:47
Alhamdulillah, kami sudah berada di Penangkaran Maleo. Suatu tempat yang indah, dengan sumber mata air panas. Kami berempat dengan kualitas ganjil (tiga orang sahabat, dan seorang sahabiah). Di tempat ini, tak ada yang bisa membantah bahwa raja siang dalam tahtanya akan begitu angkuh.
Kami memutuskan mengambil beberapa gambar. Tapi sungguh keangkuhan sang raja siang terasa hingga mampu melegamkan kulit dalam hitungan detik.
Pukul 12:53
Seorang sahabat merasakan perubahan suhu yang tiba-tiba. Jika sebelumnya kami meradang di bawah keangkuhan sang raja siang. Di dalam hutan, keangkuhan itu ditebas oleh rindangnya daun pepohonan hutan. Inilah dia, salah satu donor oksigen yang dihirup dunia. Perjalanan ini tiba di titik pertama, di hutan yang masih  ‘perawan’.

Kamis, 18 Februari 2015
Pukul 00:50
Kami telah berada di dalam kamar sebuah rumah sederhana, khas pribumi Gorontalo. Rumah ini seperti rumah induk. Tapi anehnya pemiliknya tinggal di pondok sederhana di samping rumah. Mereka sungguh sangat ramah.
Sebentar!!! Sebelum mengurai cerita tentang mereka. Kami ingin menceritakan kembali perjalanan kami kemarin.
Kami kemalaman di jalan ‘manusia’, di dalam hutan. Satu-satunya bekal makanan yang kami bawa telah kami habiskan di pemberhentian, di sungai tadi. Bekal air kami tak begitu khawatir ketika itu, karena semua botol kosong sudah kami isi di sungai. Astaga! Sebelumnya, hal yang demikian hanyalah tontonan bagi beberapa dari kami. Maka sore itu, fakta-lah yang berbicara. Kami semua minum air sungai yang rasanya hanya bisa melekat pada benak masing-masing.
Perjalanan yang kami –Muas, Harvey, Sofyan, Tata- tempuh, seolah mimpi bagi kami. Sungguh! Yang kami alami sejak dimulainya perjalanan pukul 11.09 siang hingga pukul 20.55 malam. Tak sempat terlintas dalam benak kami akan kemalaman di hutan, dengan bantuan cahaya seadanya, dari lampu senter hp. Kami berusaha menuntaskan perjalanan kami hingga ke jembatan penyeberangan.
Pukul 08.06
Alhamdulillah, kami terlelap dalam keletihan dan cerita ‘pertarungan’ antara diri kami. Bukankah dalam pendakian dapat terlihat sifat asli kita? Begitupun demikian, sifat kami menyeruak dari dalam, tak bisa di tahan. Dan tentang karakter tersembunyi itu. Biarlah, menjadi cerita kami.
Keramahan Pribumi.
Senang rasanya kami ditunggui sarapan yang nikmat ala pribumi Gorontalo. Nasi jagung dan lauk pauk yang jarang dapat kami temui di daerah perkotaan.
Perkembangan infra struktur di kota sepertinya sudah menjadi sifat. Akan sulit rasanya menemukan keramahan pribumi di tengah kota, yang memiliki prinsip –Adat bersendikan sara’, sara’ bersendikan kitabullah-.
Jadi sebenarnya, kemakmuran rakyat itu menggunakan tolok ukur yang mana. Jika mengingat lagi yang mereka tuding sebagai kebutuhan itu tak lain adalah tuntutan strata sosial.
Disini semua tampak baik, dan memang yang membuat mereka pribumi merasa kesusahan adalah tuntutan yang datang dari kehidupan kota yang mengukur semuanya dengan benda yang bernama ‘uang’.
Pernah di ulas di salah satu televisi swasta tentang kebijakan pendidikan di India. Di sana infra struktur tak terlalu baik, bahkan sengaja dibiarkan apa adanya tapi tetap di rawat. Namun kualitas semua variabel input dalam proses pembelajaran memadai, terutama literatur atau sumber belajar atau bahan bacaan. Sangat berbeda dengan Indonesia yang terus memperbaiki infra struktur hingga memicu naiknya biaya pendidikan dan rela mencekik pribuminya sendiri.

Pukul 10.09
Motor ‘Trail’ modif.
Kemarin kami menggunakan kaki untuk mengantarkan kami ke daerah ini, hingga perbatasan-penyeberangan setidaknya. Hari ini kami ke pusat Kecamatan Pinogu menggunakan motor ‘trail’ modifikasi. Subhanallah!!! Medan yang harus dilalui. Sejujur-jujurnya kami dilema. Ingin melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki kami sangat keletihan. Menempuh perjalanan dengan ojek motor, juga tak kalah menguras keberanian kami yang memang asing dengan medan yang harus ditempuh.
Pagi tadi kami masih menggeliat di dalam kamar sederhana dalam balutan udara dingin yang menusukkan duri-durinya sampai ke tulang-tulang. Di kamar tamu sebuah rumah milik bibi dan paman sahabat Harvey Tangahu yang memang tinggal tepat di tepi sungai penyebarangan itu, kami berbagi tempat tidur. Sahabiah ditempatkan di tempat tidur berkelambu, sedangkan tiga sahabat dengan ikhlas hati rela tidur di lantai beralaskan tikar plastik. Tuan rumah pun berbaik hati menyiapkan selimut berupa kain sarung, seorang selembar.
Dalam memulai hari, kami menyegerakan diri untuk membersihkan diri di sungai, di bawah jembatan penyeberangan. Kabut menutupi permukaan air sungai membuat sahabiah dan sahabat waspada. Karena di sungai itu masih merupakan habitat buaya. Sahabat Sofyan sempat bercanda, “Buaya sungai ketemu buaya darat.” Astaga! Dalam keadaan seperti ini masih saja ada canda di antara kami.
Demikian memang, manusia patut waspada terhadap segala sesuatu. Sementara air yang tak pernah terlena tetap asyik mengalir dari hulu ke hilir. Pertanyaan yang timbul di benak kami, dari mana air itu dan kemana muaranya? Sebuah pertanyaan kiasan terhadap hal yang lebih besar: “Alam yang begitu luas. Hamparan bumi yang terbentang dari timur ke barat, tak dapatkah memenuhi kebutuhan manusia?”

Pukul 18.27
Kami tiba di pusat Kecamatan Pinogu pukul 11.13. Saat itu kami baru tahu bahwa posisi ayahanda dari sahabat Harvey Tangahu  berada di pusat kabupaten Bone bolango untuk urusan dinas, sedangkan ibundanya masih sementara mengawasi para pekerja di perkebunan.
Sejenak kami beristrahat, lalu tiga sahabat menyempatkan diri ke sungai yang tak jauh dari kediaman keluarga sahabat Harvey Tangahu. Sungai yang tercemar hanya oleh alam, bukan akibat jahilnya tangan manusia yang memiliki kecenderungan.
Pinogu ternyata tak berbeda dengan desa-desa pelosok yang ada di Provinsi Gorontalo. Tapi letak Pinogu yang berada di ujung Gorontalo, dengan jalanan yang teramat sulit ditempuh membuat kental keyakinan kami bahwa mesti ada sesuatu disini. Lalu apa itu?
Sore hari ba’da asar, kami memutuskan untuk memulai pengambilan data. Tujuan kami adalah kantor Kecamatan Pinogu. Tapi kantor kecamatan tutup, dan pejabat serta stafnya tidak berada di tempat. Sahabat Sofyan lalu memberi usulan untuk kami mengunjungi setiap dusun untuk memperoleh data yang kami inginkan. Namun usul itu tidak dapat dilaksanakan karena terbatasnya waktu yang kami miliki.
Sahabat Harvey Tangahu lalu mengajak kami ke kediaman Bapak Harun Maini. Beliau dulu pernah menjabat sebagai kepala desa Pinogu sebelum Pinogu mekar menjadi kecamatan. Beliau juga adalah mantan kepala sekolah dasar di Pinogu. Dari beliau kami mendengarkan sekelumit kisah tentang Pinogu. Sebenarnya dalam hal ini beliau ingin bercerita banyak, tapi kondisi kesehatan beliau tidak memungkinkan untuk hal tersebut. Hanya sekitar tigapuluh menit kami di rumah beliau, sebelum kami akhirnya mohon diri dan berterima kasih atas kesediaan beliau memberikan sekelumit kisah Pinogu. Kami juga sempat mengambil beberapa gambar dengan beliau.
Sebelum waktu magrib menjelang kami kembali ke kediaman sahabat Harvey Tangahu. Di sana sudah ada buah durian yang menanti. Sahabat Muas, dan Sofyan, serta sahabiah Tata benar-benar penggila buah yang memiliki aroma yang khas ini. Kesempatan seperti ini tentu tidak akan kena pasal “sia-sia”. Usai menyantap durian, kami melanjutkan diskusi kami tentang ekspedisi tersingkat dalam sejarah ini.
Ini adalah hasil diskusi kami:
·    Jika penerangan telah baik, dan jika signal telepon seluler bisa sampai ke Pinogu, maka Pinogu akan menjadi kecamatan dengan infra struktur yang baik, saja!
·    Akan berbeda kisahnya jika Pinogu bisa melahirkan putra-putri pribumi yang tidak saja hebat, pintar, bermartabat, yang tidak saja pandai berbangga akan sumber daya alamnya. Tapi juga memahami asal-usul/sejarah Pinogu, mampu meneladani jejak langkah orang-orang terdahulu yang memiliki kesadaran akan hubungan dengan Sang Khalik dan hubungan dengan sesama.
·    Pinogu membutuhkan pribumi yang memiliki kesadaran berideologi.
 Kami telah selesai dengan perjalanan kami. Data yang kurang akan kami lengkapi di kantor perwakilan yang terletak di Kecamatan Suwawa Timur. Kami sepakat untuk kembali besok hari, tapi dengan cara membagi tim dalam dua perjalanan yang akan di tempuh. Tiga sahabat akan menempuh kembali jalanan setapak di hutan, sedangkan sahabiah akan menempuh perjalanan dengan ojek motor ‘trail’ modif. Hal ini didasari pada pertimbangan kondisi sahabiah yang lambat pemulihannya dari rasa letih.

Pukul 21.49
Terkuak sudah apa yang kami rasakan semasa perjalanan di dalam hutan pada malam itu. Sahabat Sofyan Enjemani merasakan hal yang sama dengan sahabiah Tata, bahwa ada yang melarang mereka untuk beristrahat terlalu sering dalam perjalanan. Sesuatu yang tidak tampak oleh mata itu seolah memotivasi kami untuk menyelesaikan perjalanan setidaknya sampai ke perbatasan-penyeberangan.
Menurut tutur orang tua dari sahabat Harvey, ular adalah lawan yang paling sengit bagi para pejalan kaki. Beliau amat bersyukur tak ada satu pun binatang melata yang menghadang kami. Sahabiah ikut teringat bahwa ular adalah binatang nocturnal yang beraktifitas mempertahankan hidup di malam hari. 
Sahabat Muas dan Sofyan phobia ular. Rencana perjalanan yang akan ditempuh besok mulai terasa menggetarkan hati. Demikian juga sahabiah Tata, jurang yang menganga sebagai bahu jalan menjadi ketakutan tersendiri yang mulai melekat erat dalam benak.
Entah apa yang akan kami lalui besok dalam hari kalisuwa. Hari yang tidak baik menurut perhitungan masyarakat Gorontalo.
Pukul  22.35
Bismillahirrahmanirrahim…
Ya Illahi… Ya Rabb… Ya Rahman… Ya Rahim…
Kami menyebut-Mu dalam hati gentar ini. Kami terbebani dalam perjalanan ini, tepat ketika ada keinginan untuk membawa hasil.
Niat kami tidak baik dan tidak sopan, seolah kami lebih kepada kecenderungan. Patahkan harapan kami untuk niat kepulangan kami.
Keyakinan kami menyalahi-Mu Ya Illahi Ya Rabbi. Seolah kami bisa mengatur semesta, sedangkan kami hanya bagian yang tak bernilai di dalam tatanan penciptaan semesta alam-Mu yang begitu megah.
Ya Illahi… Ya Rabb… Ya Rahman… Ya Rahim…
Kami merayu kepada-Mu. Lindungah kami dengan angka yang Engkau ciptakan dan Engkau cintai. Kami merayu-Mu, lihatlah ketidakberdayaan kami, Ya Illahi.
Salawat dan salam kepada junjungan kami, baginda Rasulullah Saw juga kepada kerabatnya.
Ya Illahi, maafkan kepura-puraan kami. Entah saling menyenangkan hati orang lain dengan berbohong adalah kebaikan. Maka biarkan kebaikan ini kami persembahkan kepada-Mu sebagai tiket kami untuk mendapatkan keselamatan dari-Mu.
Ya Allah… Ya Fattah…
Ya Karim… Ya Qudus…
Maafkan kami kesombongan kami, dan pembangkangan kami pada alam jabalrut. Inilah kami Ya Illahi. Kami ciptaan-Mu yang paling hina, tapi merasa paling baik di antara ciptaan-Mu yang lain.
Ya Illahi… Ya Rabb… Ya Rahman… Ya Rahim…
Bismillahi lahaula walaquwwata illabillah.
Perkenankanlah doa dari kami yang hina ini.

Jumat, 19 Februari 2016
Pukul 19.06
Alhamdulillahirabbil’alamin. Kami telah diizinkan kembali dengan selamat di Kota Gorontalo. Tinggal tugas lain yang menanti.
***
Demikian catatan perjalanan kami yang tetap kami jaga kemasannya dalam bentuk catatan harian. Agar kami bisa sedikit berbagi kepada khayalak tentang perjalanan ini. Agar kelak jika akses jalan sudah bukan lagi hambatan. Maka setidaknya kisah perjalanan ke Pinogu melalui jalan setapak di dalam hutan, dan motor ‘trail’ modif tidak sekedar hadir dalam penuturan, sebagaimana kebudayaan tutur yang telah lama ada di Gorontalo.
Di akhir bagian ini, kami ingin menambahkan beberapa catatan pelengkap berikut.
Di zaman yang makin modern. Percayalah, Tuhan menjaga keseimbangan alam sebagai bentuk eksistensi-Nya.
Di Bumi Gorontalo masih ada kelompok-kelompok primitif yang enggan mengenal kebudayaan modern. Mereka bermukim di pedalaman hutan sekaligus menjaga keseimbangannya. Mereka yang masih tetap bertahan dan mempertahankan cara hidup dengan alam. Mereka disebut suku POLAHI.
 Di dalam hutan Pinogu-pun demikian. Etnik dalam keheranan, berusaha untuk memahami dan menyadari pertolongan Tuhan dalam gelap. Bukan tidak mungkin Tuhan memberikan pertolongan-Nya melalui mereka suku Polahi hutan Pinogu untuk menjaga kami dari binatang buas dan binatang berbisa pada malam itu. Mereka pula yang menyeru pada sahabat Sofyan dan Sahabiah Tata ketika itu.
Entah balasan apa yang pantas kami berikan kepada mereka, dan bagaimana. Hanya doa yang mengalir untuk mereka semoga selalu dalam perlindungan Tuhan, dan terjaga hingga akhir hayat bumi. Amin, Amin, Amin Ya Rabbal’alamin.{}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AKU, RUMAH BERANTAKAN, CENDOL, ISRAEL, PALESTINA (Bagian 2)

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Semoga kalian semua selamat serta beroleh rahmat dan berkah d...