Sabtu, 13 Agustus 2016

PERJALANAN ETNIK (WE are D'ETNIC) KE PINOGU BAGIAN 2.


 CINTA UNTUK PINOGU

Banyak cinta untuk Pinogu. Cinta ini telah hadir pada pribumi Pinogu dan mereka yang terlahir bukan sebagai pribumi Pinogu tapi telah berhasil menginjakkan kaki di Pinogu. Seperti cinta yang hadir dalam diri kami, Etnik.
Telah kami tekankan sebelumnya, bahwa kami berkeyakinan ada sesuatu di Pinogu, dan sesuatu itu telah kami temukan jawabnya, yakni cinta. Dalam diskusi yang cukup panjang, kami terus membahas tentang produk apa yang akan kami hasilkan dari ekspedisi ini. Produk yang tidak saja memberikan nilai bagi kami diawal langkah ini, tapi juga diharapkan produk ini dapat memberikan arti dan nilai bagi banyak orang, khususnya bagi Pinogu.
Pada akhirnya inilah produk ekspedisi kami. Sebuah buku untuk Pinogu. Rentang waktu ekspedisi dan penulisan buku ini terbilang amat singkat. Namun walaupun demikian, kami tetap berusaha menggunakan metode dalam penulisan buku ini. Metode yang kami gunakan adalah dengan cara memaksimalkan Informasi dan data yang berhasil kami kumpulkan melalui wawancara singkat, studi pustaka, dan artikel-artikel media, seperti tulisan-tulisan para bloger yang telah lebih dulu diluncurkan melalui blog pribadi mereka.
Pada bagian ini kami memutuskan untuk mengangkat artikel-artikel bebas para bloger tentang Pinogu, serta beberapa artikel dari situs resmi. Beberapa dari mereka adalah pribumi Pinogu, sedang yang lainnya adalah penulis yang melabuhkan cintanya pada Pinogu dikarenakan kunjungan langsungnya kesana. Semoga bagian ini dapat menambah cinta kita pada Pinogu.

Tulisan pertama ini adalah milik Aris Prasetyo, Nasru Alam Azis pada Kamis, 29 Desember 2011 Pukul 09.47 WIB
Pinogu, Surga yang Terpencil, Daerah terpencil (1)
Kompas/ Aris Prasetyo
Sebagian kecil rombongan dari pemerintah Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, menembus hutan di Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, menuju Pinogu, Jumat (23/12/2011). Pinogu adalah sebuah kecamatan di Bone Bolango yang berada di pedalaman.
Gorontalo, Kompas.com­Pinogu adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo yang terdiri dari empat desa, Pinogu, Bangiyo, pinogu Permai, dan Dataran Hijau. Desa berpendudukn 2.040 jiwa ini berada di pedalaman hutan kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Semua tanaman pertanian dan perkebunan di tanah pinogu tumbuh subur, tapi sayang tidak bisa di jual keluar.
Letak Pinogu yang sebenarnya tidak terlalu jauh, yakni hanya sekitar 30 kilometer dari Desa Tulabolo, Kecamatan Suwawa timur, yang menjadi satu-satunya pintu masuk menuju Pinogu. Ada tiga cara menuju Pinogu yakni lewat udara dengan helicopter, berjalan kaki menembus hutan dan melewati lereng gunung, atau naik ojek dengan ongkos sekali jalan Rp. 500.000. Bagi kebanyakan warga Pinogu, keluar dan kembali ke desa mereka hanya mungkin dilakukan dengan berjalan kaki.
Perlu fisik prima dan mental baja untuk berjalan kaki menuju Pinogu. Bagi yang belum terbiasa, perlu waktu 9-10 jam berjalan kaki ke Pinogu. Menembus hutan, menyeberangi anak sungai dan Sungai Bone, mendaki menyusuri lereng bukit, serta siap-siap digigit lintah sepanjang perjalanan.
Akhir pekan lalu, Kompas berkesempatan berkunjung ke Pinogu berjalan kaki bersama sekitar 90-an pegawai dari berbagai dinas di Pemerintahan Kabupaten Bone Bolango. Berjalan kaki sejak Jumat (23/12/2011) pukul 07.45 Wita, tiba di pinogu pada pukul 17.30. Sebagian rombongan ada yang tiba pukul 21.00 dan bahkan ada yang tiba keesokan hari.
Setelah tiba di Pinogu, kentara sekali jika daerah tersebut amat subur dan serba hijau. Di sana-sini berbagai jenis tanaman perkebunan tumbuh segar, seperti kopi, kakao, kemiri, durian, jagung, serta hamparan sawah yang sebagian baru mulai ditanam.
“Semua jenis tanaman di Pinogu tidak menggunakan pupuk sama sekali sebab tanahnya sangat subur. Beras kami adalah beras organik. Sayangnya, kebanyakan hasil panen di sini tidak bisa dijual ke luar karena tingginya biaya angkut,” ungkap Kepala Desa pinogu Harun Maini.

Tarif Ojek Seharga Tiket Pesawat, Daerah Terpencil (2)
Kompas/ Aris Prasetyo
Tukang ojek yang mengantar penumpang menuju Kecamatan Pinogu, kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, yang masuk dalam kawasan Taman nasional Bogani Nani Wartabone, harus bersusah payah menaklukkan medan yang berat, Minggu (25/12/2011). Dari desa terluar, yakni Desa Tulabolo, Kecamatan Suwawa Timur, memerlukan waktu hingga 10 jam menggunakan sepeda motor. Ongkos ojek mencapai Rp.500.000 sekali antar.
Gorontalo, Kompas.com—Bisa jadi ongkos ojek ke Pinogu, sebuah kecamatan di Bone Bolango Provinsi Gorontalo adalah ongkos ojek termahal. Betapa tidak, dengan jarak sekitar 40 kilometer dari Desa Tulabolo Kecamatan Suwawa Timur yang menjadi satu-satunya pintu masuk menuju Pinogu, ongkosnya Rp. 500.000 sekali jalan. Tarifnya sudah menyamai harga tiket pesawat dari Gorontalo ke Makassar (Sulawesi Selatan).
Sebenarnya, ada cara lain selain naik ojek menuju Pinogu, yaitu berjalan kaki. Jarak yang ditempuh juga lebih pendek 10 kilometer ketimbang jalur yang dilewati ojek. Hanya saja, berjalan kaki memerlukan ketahanan fisik yang prima serta mental yang kuat. Selain warga Pinogu yang hanya perlu 6 atau 7 jam saja, kebanyakan orang memerlukan waktu 9 hingga 10 jam berjalan kaki menuju Pinogu, termasuk Kompas yang berkunjung ke sana akhir pekan lalu.
“Jika musim hujan begini, ongkos ojek memang mahal. Sebab, kondisi jalan rusak berat penuh lumpur. Kalau musim kemarau, biasanya lebih murah, yaitu Rp.300.000 untuk sekali jalan,” Tutur Tamin (30), salah satu petani pinogu yang berprofesi sampingan sebagai tukang ojek.
Tingginya ongkos ojek di Pinogu saat musim hujan seperti sekarang turut mendongkrak harga bensin eceran. SeLiter bensin di Pinogu saat ini seharga Rp.15.000. untuk sekali jalan, ojek di Pinogu membawa jeriken berisi bensin lima liter. Artinya, mereka menghabiskan Sembilan liter bensin seharga Rp. 135.000. Harga bensin eceran di Desa tulabolo adalah Rp. 7.000 per liter.
Jadi, pulang pergi dari Pinogu sudah habis ongkos hampir Rp. 200.000 hanya untuk bahan bakar. “Itu belum termasuk risiko rantai sepeda motor putus atau ban pecah di jalan. Hal-hal seperti itu biasa kami alami saat mengantar penumpang,” Ujar Tamin.
Perlengkapan tukang ojek Pinogu memang serba ada. Selain kunci untuk membuka mur atau baut, mereka juga membawa pompa angina termasuk ban dalam sebagai cadangan jika sewaktu-waktu bocor.
“Warga di Pinogu sangat jarang naik ojek. Biasanya mereka berjalan kaki saat keluar atau kembali ke Pinogu. Umumnya, yang naik ojek adalah para tamu pejabat saja dan itu pun jarang-jarang,” Kata Tamin.
Waktu tempuh naik ojek dengan berjalan kaki dari dan menuju Pinogu sama saja dengan berjalan kaki, yakni sekitar 9 hingga 10 jam. Jika musim kemarau, menuju pinogu bisa memerlukan waktu sampai 6 jam saja dengan ojek.

Tulisan kedua adalah milik Idris Mataihu, diposkan pada 28 Februari 2012.
KECAMATAN PINOGU
Insya Allah Pinogu Menjadi Kawasan Pertanian Organik
Pemerintah Kecamatan Pinogu yang dimediasi oleh Pemerintah Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, akan mengusulkan kawasan di Kecamatan Pinogu sebagai kawasan pertanian organik kepada pemerintah pusat. Usulan itu dilatarbelakangi semua produk pertanian dan perkebunan di Pinogu yang bebas dari obat-obatan kimia.
“Seluruh beras maupun hasil kebun, seperti kopi, kakao, dan kemiri, bebas dari bahan kimiawi sebab tanah di Pinogu subur. Kami akan usulkan ke pemerintah pusat untuk membantu mengembangkan Pinogu sebagai kawasan pertanian dan perkebunan organik,” ujar pelaksanan Tugas Bupati Bone Bolango Hamim Pou, Selasa (10/1/2012), di Gorontalo.
Hamim menambahkan, di Pinogu ada lahan seluas 2.000 hektar yang siap di cetak menjadi sawah baru. Hanya saja, kata dia, kendala utama untuk mengangkut hasil panen di Pinogu adalah infrastruktur jalan.
Selama ini jalan menuju Pinogu tidak bisa ditempuh dengan roda empat. Untuk mengangkut hasil panen dari Pinogu ke kota kabupaten, karena harus di pikul berjalan kaki selama 9-10 jam melalui kawasan hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Menurut Camat Pinogu Moh. Idris Mataihu, SP.d, MM, beras Pinogu sampai sekarang belum pernah dipasarkan ke luar Pinogu. Letak Pinogu yang berada di pedalaman hutan taman nasional berjarak 45 kilometer dari Desa Tulabulo, Kecamatan Suwawa Timur, yang merupakan satu-satunya pintu masuk ke Pinogu.
Jika dipasarkan ke luar Pinogu harganya membengkak karena ditambah ongkos angkut Rp. 5000 per kilogram (kg). Harga beras organic di Pinogu Rp 10.000 per kg dan jika dipasarkan ke luar setidaknya seharga Rp 16.000 per kg sehingga ada laba Rp 1000 per kg.
Tanah Pinogu dikenal subur dan tidak memerlukan pupuk untuk tanaman padi. Sampai sekarang, Pinogu dikenal sebagai daerah penghasil organik terbesar di Gorontalo. Luas sawah di Pinogu saat ini adalah 163 hektar dan telah menghasilkan gabah sebanyak 1.017 ton sepanjang tahun ini.

Tulisan yang ketiga adalah milik seorang pribumi Pinogu diposkan pada Rabu, 18 Juli 2012 pukul 11.09
Desaku Tercinta Pinogu
Inilah suasana Desa Pinogu Kecamatan pinogu Kabupaten Bone Bolango. Suasana yang masih asli dan belum terkena polusi kenderaan bermotor. Dengan masyarakat yang ramah dan juga baik hati. Pohon-pohon yang hijau dan suasana alamiah masih terasa di Desa Pinogu Kecamatan Pinogu Kabupaten Bone Bolango. Dengan masyarakat yang hidup bahagia dan sejahtera, saling membantu satu sama lain.
Andaikan saja kehidupan di bumi ini bagaikan Desa Pinogu yang bersih dari polusi dan sejuk tersebut, mungkin semua umat manusia bisa menghirup udara segar yang baik untuk kesehatan tubuh dan juga bukan itu saja Pinogu adalah kekayaan alam yang tersembunyi, surge dunia yang paling indah, masyarakat yang begitu damai dan saling membahu.
1 Komentar:
Irens Park Rauf Aditya Haling Siagian 8 Desember 2012 pukul 07.34
Nice post gan. Saya juga lahir di Pinogu tapi besar di perantauan, berdomisili terakhir di Kota Bitung. Pas saya lihat keadaan Pinogu dari internet, rasanya saya ingin pulang kampong secepatnya. Ngomong-ngomong, anda siapa dan tinggal di lorong berapa. Kalau saya dulunya di lorong 4. Salam kenal.

Tulisan yang keempat adalah milik admin Kecamatan Pinogu diposkan pada Sabtu, 08 Juni 2013 pukul 20.57.19 WIB
KAUM PEREMPUAN AKTIF MEMBANGUN PINOGU
Kategori: Kesejahteraan
Budaya gotong royong yang dari sejak nenek moyang masyarakat Pinogu sampai sekarang  masih terpelihara dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh sebagian besar kaum perempuan Pinogu yang selalu membantu Pemerintah Desa dan Pemerintah Kecamatan Pinogu khususnya dalam membangun dalam membangun jalan desa di wilayah desanya masing-masing. Untuk laki-laki mereka mengerjakan pekerjaan di sawah/ladang dan perkebunan mereka, sedikit demi sedikit Pinogu sudah mengalami perubahan drastis karena perhatian Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Bupati Bone Bolango Hamim Pou, S.Kom, MH yang dengan kesungguhan beliau memperhatikan Pinogu  apalagi Pinogu sekarang sudah menjadi kecamatan definitif ke-18 dan mampu sejajar dengan kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Bone Bolango. Kesungguhan Bupati Bone Bolango inilah yang membuat kaum  gender Pinogu turut serta berpartisipasi dalam membangun Pinogu. Semoga Pinogu ke depan akan menjadi ikon Pembangunan berbasis masyarakat dalam kerangka “DESA TUMBUH DAERAH MAJU” (id’s).

Tulisan yang kelima adalah milik Syam Terrajana pada degorontalo.co
Lingkungan>Agraria
Pahit Kopi Pinogu, Tak Sepahit Kisah Ini
DEGORONTALO – Ningsih Maramis (37) hanya bisa menarik nafas panjang. Betapa tidak, hampir 30 kilogram bubuk kopi organik hasil produk kelompoknya belum juga terbayar lunas.
Padahal sejak desember tahun lalu, kopi dalam kemasan 100 dan 200 gram itu, sudah dia setorkan pada salah satu pegawai dinas pertanian Bone Bolango yang bertindak sebagai distributor.
“Uang baru akan dibayarkan setelah produk terjual. Waktunya tidak bisa ditentukan, itupun dibayar dengan cicilan,” keluh ibu tiga anak, petani kopi organik dari Kecamatan Pinogu.
Pinogu adalah Kecamatan enclave dalam Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Dihuni 2000 jiwa. Letaknya pun sangat terpencil. Hanya dua ada dua akses jalan; pertama berjalan kaki menyusuri hutan sejauh 30 kilometer. Kedua dengan menunpang motor ojek sejauh 46 kilometer.
Tapi jangan ditanya medan jalannya; curam dan ekstrim. Juga rawan longsor. Jika berjalan kaki, butuh waktu 8-14 jam. Nyaris lima tahun belakangan pemerintah daerah setempat menggadang-gadang kopi Pinogu sebagai salah satu komoditas unggulan.
Selain dipercaya sebagai tanah leluhur dan muasal orang Gorontalo,  Pinogu boleh disebut sebagai “negeri kopi”. Nyaris setiap warga setempat memiliki kebun kopi sendiri dengan luas bervariasi.

Wilhelmina
Tanaman kopi di kawasan berketinggian 300 meter dari atas permukaan laut itu, punya rentang sejarah panjang. Pada 1875 silam, Kolonial Belanda membawa bibit kopi Liberica. Namun hal itu kemudian mendapat penolakan dari pihak kerajaan Suwawa yang menguasai wilayah itu.
Alhasil kopi liberika dari  Pinogu yang konon disukai Ratu Wilhelmina, dibiarkan tumbuh liar hingga jadi hutan kopi. Hingga kini hutan kopi itu masih dijumpai di Pinogu. Pada 1970, pemerintah orde baru memberikan bantuan bibit kopi Robusta kepada petani setempat.
Tanah Pinogu yang subur karena sisa endapan lahar gunung berapi membuat tanaman tumbuh sempurna. Itu sebabnya, petani di sana tidak membutuhkan pupuk kimiawi. Tanaman hanya membutuhkan perawatan seperlunya saja. Organik.
“Kopi Pinogu yang kini dalam kemasan itu, adalah campuran jenis Liberika dan Robusta pilihan,” tambah Nurdin Maini Ketua Asosiasi Petani Kopi Pinogu. Pada tahun 2012 lalu. Pemerintah daerah memberikan bantuan berupa seperangkat alat pengolahan dan produksi pada petani kopi di Pinogu, bahkan produknya pernah dipromosikan hingga ke Berlin, Jerman.

Tidak Adil
Namun demikian, menurutnya hal itu belum sebanding dengan apa yang diperoleh petani. Mekanisme pasar yang berbelit-belit membuat petani kesulitan.
Pasalnya, petani harus “membeli” logo kopi Pinogu yang lebih mirip lisensi, kepada oknum pegawai dinas pertanian Bone Bolango yang mengklaim diri sebagai distributor tunggal.
“Dikatakan oknum, karena dia mendistribusikan kopi Pinogu dengan menggunakan nama pribadi,” tutur Nurdin.
Katanya, harga dasar yang ditawarkan petani pada sang distributor itu berkisar 15-25 ribu rupiah, masing-masing untuk kemasan 100 dan 200 gram. Tapi yang diterima petani malah kurang dari itu. Hanya 9000-19.500 rupiah. Alasannya, harga terpotong  biaya logo.
Padahal setelah dijual di toko dan di supermarket di Gorontalo, harga kopi Pinogu mencapai 17-30 ribu rupiah. Nurdin mengatakan, hingga kini masih ada 4.000 sachet kopi kemasan milik petani yang belum dibayarkan.
 Karena itu juga, menurutnya banyak petani lebih memilih menjual kopi biji mentah dengan  harga 23 ribu per kilogram, dibayar tunai. Nurdin khawatir, jika mekanisme pasar yang adil bagi petani tidak tersedia, kebanyakan petani akan beralih menjadi penambang emas seperti dulu. Pinogu memang berdekatan dengan lokasi penambangan emas tradisional.
“Tambang emas tidak selalu menghasilkan, disamping itu, banyak yang percaya jika uang hasil tambang sifatnya “panas”, cepat habis tanpa diketahui. Kami susah payah membujuk warga untuk tetap menanam kopi, agar tidak lagi menambang dan merusak lingkungan, tapi jika keadaannya terus begini, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” bebernya.
Saat ini tercatat ada 225 hektar lahan kebun kopi Robusta di Pinogu. Warga juga tengah membudidayakan kopi Liberica.
Di tempat terpisah, Bupati Bone Bolango, Hamiem Pou, mengatakan Pinogu memang bukanlah perkara mudah mengingat akses jalannya yang sulit dijangkau. Sebelumnya pemerintah telah membangun jalan beton sepanjang tiga kilometer. Tahun ini, aka nada penambahan jalan dengan anggaran satu miliar rupiah.
Terkait mekanisme pasar, menurutnya sementara ini memang masih dikendalikan oleh Pemda, dengan dalih untuk menghindari pembajakan produk. Tapi dia tidak mau mengomentari soal ulah oknum pegawai yang menguasai distribusi kopi Pinogu.

Tulisan yang keenam adalah milik Sutiono Gunadi diposkan pada 13 Mei 2015 pukul 07.05.54
Kopi Pinogu, Perjalanan Dramatis, dari Biji Hingga Secangkir Kopi
Menghirup kopi hitam panas maupun kopi yang sudah dicampur susu seperti latte atau cappuccino di pagi hari sebelum mulai beraktifitas atau saat berangkat ke tempat kerja, saat jeda di kantor, saat makan siang ataupun di sore hari saat perjalanan dari kantor menuju rumah adalah sebuah rutinitas yang banyak dilakukan banyak orang.
Itulah sebabnya bisnis warung kopi, mulai dari warung kopi pinggir jalan atau terminal bis hingga warung kopi di mall-mall tidak pernah sepi dari pengunjung setianya.
Indonesia adalah negara penghasil kopi yang sangat diperhitungkan di bursa kopi dunia sejak era VOC hingga sekarang. Cukup banyak kopi yang sangat terkenal karena banyak dicari orang, seperti kopi Aceh, kopi Lampung, kopi Toraja dan kopi Wamena.
Kopi Pinogu
Kopi Pinogu adalah kopi yang tumbuh di kawasan hutan lindung Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, yang berada di Kecamatan Pinogu, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Akses jalan dari Gorontalo ke hutan lindung ini memerlukan waktu tempuh yang cukup lama, karena harus melalui medan yang sulit dan penuh tantangan. Kawasan ini merupakan daerah yang paling terisolasi di Provinsi Gorontalo, berada di ketinggian 300 meter dari permukaan laut. Untuk mencapainya dengan kenderaan roda dua memerlukan waktu tempuh 6-8 jam karena jalan berbatu dan berlumpur atau berjalan kaki melalui sejumlah punggung bukit dan menyeberangi sungai Bone yang harus waspada agar tidak digigit lintah selama 12 jam.
Sebenarnya letak Pinogu tidak terlalu jauh, hanya sekitar 30 km dari desa tulabolo, Kecamatan Suwawa timur, yang merupakan pintu masuk satu-satunya ke Pinogu. Ada tiga cara mencapai Pinogu, berjalan kaki menembus hutan dan melalui lereng gunung, naik ojek dengan ongkos sekitar 1 juta rupiah pulang-pergi atau helicopter sebagai matra udara. Namun pilihan petani kopi Pinogu pada umumnya berjalan kaki.
Di wilayah ini bukan sekedar hamparan kebun kopi, namun merupakan hutan kopi Sinondo’o yang belum berpenghuni. Hutan ini didominasi kopi jenis Liberica yang benihnya dibawa oleh pedagang Belanda di abad 19 dan pohonnya sudah mencapai ketinggian 10 meter. Pengembangan kopi Liberica kurang berhasil karena tidak didukung oleh kerajaan Suwawa.
Pada tahun 1970 pemerintah daerah membudidayakan kopi jenis Robusta hingga seluas 225 hektare yang tersebar di empat desa; Pinogu, Bangiyo, Pinogu Permai dan Datarn Hijau.
Karena belum adanya sarana jalan yang memadai, berakibat pemasaran kopi Pinogu banyak terkendala perkembangannya. Padahal kopi Pinogu adalah kopi organik yang ditanam tanpa menggunakan bahan kimia dan pestisida. Sulitnya menuju lokasi menyebabkan petani kopi enggan menggunakan pupuk pestisida. Disamping kesuburan tanah yang tinggi, yang berasal dari daun yang gugur yang dibiarkan terurai oleh mikroorganisme tanah. Yang secara otomatis menjadi pupuk alam bagi kopi. Dedaunan itu berasal dari tanaman penyangga kopi, seperti durian, langsat, dadap, kakao, dan kemiri.

Tulisan yang ketujuh adalah milik Wahyudin Kessa diposkan pada Sabtu, 08 Juni 2013 pukul 04.31
PERJALANAN CINTA PINOGU
Fajar belum terbit, Pak Nani sudah hadir di depan kamar kontrakan saya, untuk mengantar kami ke Suwawa Timur. Seluruh perlengkapan yang sudah disiapkan sebelumnya, dinaikkan di kenderaan. Sambil menunggu Adri, asistem fasilitator teknik Kabbupaten Bone Bolango yang menemani perjalanan saya ke Pinogu, saya memeriksa kembali seluruh perlengkapan yang kami butuhkan, sambil meneguhkan keyakinan.
Tepat jam 5 pagi, Adri tiba di kamar kontrakan saya. Tanpa membuang waktu, kami pun melaju menuju arah timur kota Gorontalo. Udara dingin terasa menusuk tulang, karena jendela mobil dibiarkan terbuka. Adri tidak tahan jika jendela mobbil ditutup. Di Kabila, kami menjemput Andi Ismad, Fasilitator Teknik Kecamatan Pinogu. DI Suwawa Tengah kami mampir di warung untuk sarapan pagi. Matahari mulai terlihat dari arah timur, saat kami meninggalkan warung nasi kuning itu.
Jam 07.00 kami tiba di pasar Tulabolo, Suwawa Timur, tempat terakhir yang dapat dijangkau oleh kenderaan roda empat. Di Tulabulo kami istrahat agak lama, sambil menunggu Arfan, Ketua Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Suwawa Timur, yang juga akan menyertai perjalanan saya. Dua puluh menit kemudian, Arfan muncul dengan sepatu bot yang lengkap. Melihat Arfan yang sangat siap dan berpengalaman menjelajahi hutan Pinogu, kepercayaan diri saya semakin kuat. Sekarang, sudah ada 3 orang yang akan mengawal perjalanan saya ke Pinogu; Adri, Andi Ismat dan Arfan. Dengan bantuan mereka, saya akan menuju Pinogu dengan jalan kaki sejauh kurang lebih 30 km mengarungi medan yang menanjak mengarungi medan yang menanjak menelusuri lereng-lereng gunung dan melintasi sungai yang berbatu di dalam kawasan Taman Nasional Nani Wartabone. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, jika orang baru ke Pinogu dengan rute jalan kaki, biasanya waktu tempuhnya sampai 13 jam perjalanan.
Arfan dan Andi Ismad mengumpulkan seluruh pakaian yang tidak kami butuhkan diperjalanan, kemudian dia titipkan kepada tukang ojek yang akan ke Pinogu, tujuannya agar tidak banyak beban yang harus dibawa di perjalanan. Setelah itu, kami berempat diantar naik ojek ke tempat pendakian awal, “tanjakan perkenalan dan selamat datang”.
Sebelum melakukan pendakian kami semua berkumpul dan melakukan pelemasan otot. Arfan dan Adri bertanya kepada saya, “Apakah bapak sudah siap?”. Saya jawab; saya siap lahir batin. Bagi saya perjalanan ini adalah perjalanan bersejarah dan penuh arti. Saya akan buktikan bahwa saya sangat mencintai rakyat Pinogu. Meski ada alternatif naik ojek, saya tetap ingin merasakan apa yang dirasakan oleh saudara saya di Pinogu. Untuk itu ekspedisi ini saya beri nama “PERJALANAN CINTA PINOGU”
Setelah melemaskan otot-otot dan meneguhkan keyakinan untuk mencapai pinogu, maka langkah pertama kuayunkan untuk menaiki tanjakan pertama, “tanjakan selamat datang”. Dua puluh langkah pertama, saya sudah mulai merasakan beratnya tanjakan pertama ini. Napas ku atur sebaik mungkin agar tidak terlihat rapuh oleh Adri, Ismad dan arfan. Saya mencoba menikmati suasana alam yang indah, dengan sinar mentari pagi yang menerobos lewat sela-sela rindangnya pepohonan, sedikit mengurangi kepenatan yang mulai menggantung di kaki. Ini baru awal, tapi napas sudah agak sulit diatur.
Saya istrahat sejenak di jarak 250 meter pertama, sambil bertanya kepada Ismad, “berapa panjang tanjakan ini Ismad?”. “Sekitar dua kilo meter pak,” Jawab Ismad. Keringatku mulai mengucur deras, kutatap satu persatu orang-orang yang mengawal saya. Arfan mengerti maksudku, “tinggal sedikit lagi tanjakannya yang sulit pak, setelah ini cenderung landau dan sedikit mendaki,” kata Arfan memberi semangat kepada saya.
Langkah pun ku ayun kembali menuju tempat peristrahatan pertama di jarak dua kilometer. Tiba di tempat istrahat pertama, sebuah pondok yang menyediakan penganan ringan bagi pejalan kaki, dan waktu telah menunjukkan jam 08.00. Ini adalah pondok terakhir sebelum kami memasuki hutan Taman Nasional Nani Wartabone. Di tempat ini kami beristirahat cukup lama untuk memulihkan tenaga yang terkuras pada “tanjakan selamat datang”. Sekitar 30 menit waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan kopi yang dipesan Arfan. Setelah merasa pulih kembali, kami melanjutkan perjalanan. Dari tempat istirahat pertama ini, kami melalui jalan setapak yang menurun. Ini sangat membantu saya yang sudah hampir kehabisan tenaga. Jalan menurun ini sekitar satu kilo meter hingga di sungai yang airnya terasa asin. Dari sungai ini, kami meneruskan perjalanan dengan sedikit mendaki. Sekitar 15 menit perjalanan, kami memasuki kawasan konservasi burung maleo. Kawasan konservasi ini tidak terlihat ada tanda-tanda aktifitas yang menonjol, hanya hutan bamboo dengan papan petunjuk area konservasi.
Setelah mengamari aktifitas di aera konservasi burung maleo selama 5 menit, kami kembali melanjutkan perjalanan. Dengan melewati hutan bamboo yang cukup lebat, kami mencapai kawasan padang ilalang yang cukup luas. Di tempat ini terdapat mata air panas dengan suhu tinggi yang dapat digunakan untuk memasak telur. Hungayono, demikian orang menyebut sumber air panas tersebut. Kami tiba di tempat ini jam 9.15. Sambil duduk di atas hamparan batu besar, Adri mengeluarkan telur ayam yang akan dimasak di sumber air panas tersebut. Lima belas menit kami menunggu, dan telur itu sudah siap kami santap.
Setelah 20 menit di Hungayono, kami melanjutkan perjalanan menuju titik peristirahatan berikutnya. Dua biji telur setengah matang yang saya santap, menjadi energi tambahan untuk melakukan pendakian kedua menuju sungai Pomaguo.
Perjalanan menurun sampai sungai Pomaguo, membuat perjalanan semakin cepat. Hanya 15 menit jalan kaki, kami sudah ada di bibir sungai Pomaguo. Untuk mengefektifkas waktu, kami tidak istrahat di sungai ini, hanya mengisi air minum dari sungai yang mengalir jernih. Kami baru istrahat agak lama ketika mencapai sungai Utadu tepat jam 10.00.
Arfan mengingatkan kepada saya, agar istirahat lebih lama di sungan Utadu ini. Pendakian yang akan dilalui merupakan pendakian paling sulit. Panjangnya hanya sekitar dua kilo meter, namun kemiringannya mencapai 30 derajat. Sambil istirahat, saya minta Adri mengurut betis dan paha saya yang mulai terasa kram. Menurut Arfan, tanjakan ini sudah banyak memakan korban, dan tidak bisa melanjutkan perjalanan karena mengalami cedera otot. Untuk itu, saran Arfan, jangan memaksakan diri dalam pendakian.
Tiga puluh menit waktu yang kami gunakan untuk istirahat guna pemulihan tenaga. Jam menunjukkan 10.30 di saat langkah pertama ku ayun untuk menaiki tanjakan paling ekstrim di perjalanan ini. Langkah ku atur sedemikian rupa agar bisa mencapai puncak dengan selamat. Perlahan dan sangat hati-hati. Pikiran sengaja kualihkan ke hal-hal yang lain, agar tidak fokus memikirkan panjangnya tanjakan ini. Tidak kurang sepuluh kali saya singgah istrahat dan menghabiskan air dua botol ukuran sedang. Di jarak perjalanan satu kilo meter, jantung saya mulai berdenyut kencang membuat pendengaran dan penglihatan saya agak kabur. Adri dan Arfan meminta saya untuk istirahat, sementara Adri Ismad mengawasi saya dari belakang. Saya memilih pohon yang agak besar untuk bersandar. Ku atur napas dan meluruskan kaki yang mulai kelelahan sambil membesarkan hati dan meneguhkan keyakinan bahwa saya pasti bisa.
Saya berhasil mencapai puncak tanjakan setelah berjuang selama dua jam. Arfan menawari saya istirahat dipuncak tanjakan, tapi saya menolaknya. Saya ingin segera tiba di sungai Buluwee untuk makan siang. Kami pun meluncur turun kea rah sungai, dan 15 menit kemudian kami tibba di sungai Buluwee. Tanpa peduli dengan yang lain, saya langsung buka sepatu dan merendam kaki di air sungai yang dingin. Ku minum air sungai langsung menggunakan tangan, karena sudah tidak sempat mengisi air botol yang sudah kosong. Penglihatan yang awalnya berkunang-kunang berangsur pulih setelah kepala kubasuh dengan air sungai yang segar.
Adri membuka bekal dari ranselnya, kemudia mengajak kami makan. Saya memilih untuk bersandar di batu besar, ada rasa lelah yang menyerang seluruh badan saya. Adri mengantar nasi bungkus di dekat saya, tapi saya tidak mengambilnya. Kubiarkan nasi bungkus itu tergeletak beberapa saat, setelah yang lain selesai makan siang baru kuambil nasi bungkus berikut abon sapi yang sudah disiapkan oleh Arfan. Setelah makan siang, kami lanjutkan pendakian menuju puncak gunung potong. Panjang tanjakan ini tidak terlalu jauh, hanya sekitar 700 meter. Di pertengahan tanjakan, paha saya mengalami kram sehingga sulit untuk digerakkan. Saya minta Adri untuk mengurutnya dengan obat oles anti kram yang dibawanya. Butuh waktu 10 menit untuk memulihkan otot saya yang kram. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan dengan kaki setengah diseret. Akhirnya kami tiba di puncak gunung potong tepat jam 13.15.
Puncak Gunung Potong, saya sudah merasakan kelelahan yang luar biasa. Kaos IPPMI (Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia) yang saya pakai seluruhnya basah dengan keringat. Ternyata bukan hanya saya yang merasakan kelelahan, Adri juga sudah kelihatan keletihan. Sementara Arfan dan Andi Ismad tetap segar bugar, mereka tetap wara-wiri memotrer alam sekitarnya. Gunung potong adalah gunung yang dipotong dibagian tengahnya untuk memperpendek jalur perjalanan. Sebelum gunung ini di potong (lebih tepat kalau dikatakan dibelah), pejalan kaki harus memutar sejauh sekitar 60 meter dengan kemiringan 35 derajat. Proses pembelahan gunung ini dilakukan secara manual oleh masyarakat Pinogu. Tidak ada cerita berapa lama proses pembelahan gunung tersebut dilakukan, yang pasti dengan pemotongan gunung ini dilakukan secara manual oleh masyarakat Pinogu. Tidak ada cerita berapa lama proses pembelahan gunung tersebut dilakukan, yang pasti dengan pemotongan gunung tersebut mempermudah pejalan kaki melintasi gunung ini.
Menurut Arfan, yang sudah puluhan kali melintasi hutan ini, kami sudah melewati lebih dari setengah perjalanan, dan tidak adalagi tanjakan yang terlalu berat diperjalanan ke depan. Titik perjalanan yang dituju sekarang adalah Pohulongo yang merupakan daerah perbatasan Kecamatan Suwawa Tmur dengan Kecamatan pinogu. Kedua kecamatan ini diantarai oleh Sungai Bone yang lebarnya sekitar 100 meter. Sebelum TNI menyelesaikan jembatan gantung Pohulongo dua bulan lalu, penyeberangan dilakukan dengan menggunakan rakit bambu.
Dari Gunung Potong kami melanjutkan perjalanan menurun sejauh dua kilometer. Dengan banyaknya pohon-pohon besar yang tumbang melintang di tengah jalan, sedikit menghambat perjalanan. Melintasi pohon besar yang tumbang, ternyata sama sulitnya dengan menaiki tanjakan dengan kemiringan 30 derajat.di setiap akan melintasi pohon, saya harus istirahat sejenak untuk mengumpulkan tenaga. Satu jam perjalanan dari Gunung Potong, kami dengar suara motor. Adri menyampaikan kepada saya bahwa tinggal 20 menit perjalan akan sampai di jembatan Pohulongo. Saya sangat terhibur dengan penyampaian Adri, dan tanpa sadar ku ayun langkah secepat mungkin. Dua puluh menit berlalu, jembatan Pohulongo belum juga terlihat. Saya menatap Adri dan Arfan sambil bertanya, apakah langkah saya terlalu lambat sehingga kita belum tiba di jembatan Pohulongo? Adri menjawab, bahwa itu adalah cara untuk membuat saya bersemangat dan melangkah lebih cepat. Sialan Adri…!!! Setelah suara motor itu berlalu perjalanan kembali sunyi. Saya tidak lagi banyak bertanya, karena Arfan juga sudah tidak bisa menjawab pertanyaan saya. Di benak saya, hanya ada satu kata; “terus melangkah, sekecil apapun langkah itu akan membuat saya tiba di Pinogu”. Saya terus  melangkah melihat ujung-ujung sepatu. Tiba-tiba dari belakang Adri berteriak, “Jembatan”. Ya, kami sudah tiba di jembatan Pohulongo, jam telah menunjukkan angka 15.30.
Di Pohulongo, kami istirahat di warung kopi satu-satunya di tempat ini. Kami disuguhi kopi Pinogu yang terkenal itu. Saya menikmati aroma kopinya yang khas, kemudian meminumnya sedikit demi sedikit. Sungguh kenikmatan yang tiada tara “KOPI PINOGU”.
Sambil menikmati kopi Pinogu, di warung kopi Polohungo, saya mencoba menggali informasi dari pemilik warung, dan beberapa informasi saya tanyakan untuk menghilangkan rasa penasaran saya. Sebelum melakukan perjalanan cinta ini, saya sudah mengumpulkan berbagai informasi mengenai daerah-daerah yang akan dilewati, kesulitan medan, dan bekal apa saja yang perlu kami siapkan. Tentang Pohulongo, saya menemukan kenyataan berbeda dengan cerita yang saya dengar mengenai “seramnya” situasi penyeberangan ini. Cerita tentang buaya yang menghadang, dan lebatnya hutan di sekitarnya ternyata tidak saya temukan. Situasi Pohulongo sudah berubah jauh. Dengan jembatan gantung yang terlihat anggun, dan jalanan yang sudah diperlebar oleh ekspedisi NKRI TNI AD, menghilangkan kesan angker tempat ini.
Menurut pemilik warung, untuk mencapai ibu kota kecamatan Pinogu yang berjarak 9 km dari Pohulongo, masih dibutuhkan waktu perjalanan selama 2 sampai 3 jam dengan jalan kaki. “Apakah masih ada tanjakan?” itu pertanyaan yang saya ajukan ke pemilik warung. Jawabnya, “masih ada beberapa bumbung (gunung), pak, tapi sudah tidak terlalu tinggi dan jalannya juga sudah luas, jadi sudah lebih enak”. Sambil melirik gelas kopi yang isinya sudah dibawah setengah saya bertanya kepada Ismad dan Arfan, apakah kita sudah siap melanjutkan perjalanan?. Saya tidak mendapatkan jawaban spontan dari mereka. Arfan dan Ismad hanya mengatakan, “Kita tunggu sebentar lagi pak”.
Saya meraih sepatu dan memasangnya kembali. Kaki saya mulai terasa kesemutan dan pangkal paha agak sulit digerakkan. Saya dihantui keraguan. Apakah saya masih bisa menyelesaikan etape terakhir ini?. Kulihat Adri juga sudah mengalami penurunan stamina yang luar biasa. Air O** yang menjadi andalannya sudah habis karena berbagi dengan saya.
Kulihat jam yang tergantung di warung itu, tepat menunjukkan jam empat sore. Saya berdiri dan mengajak mereka untuk melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba dua motor melaju dengan suara yang memekakkan telinga mendekati warung kopi. Ismad melambai kea rah motor tadi, dan mereka berhenti di sisi jalan. “Bapak naik ojek saja dengan Pak Adri, biar saya jalan kaki dengan Arfan,” Kata Ismad kepada saya. “Ismad, ini di luar dari skenario perjalanan saya. Kalau toh kita harus naik motor sampai ke Pinogu, maka kita harus jalan bersamaan. Saya tidak mau naik motor bersama Adri kalau Ismad dan Arfan tidak naik motor juga.”
Arfan berusaha membujuk saya agar saya naik motor bersama Adri, tapi saya bertahan. Belum selesai kami berdiskusi mengenai siapa yang naik motor dan siapa yang jalan kaki, dua motor kembali meluncur dari arah Pinogu. Rupanya Ismad dan Arfan sudah mengatur skenario penjemputan saya di perbatasan ini. Anak-anak  TPK Pinogu, dimobilisasi untuk menjemput kami di Pohulongo. Melihat empat motor parkir di depan kami, Adri tersenyum kepada saya, dan berkata, “Jadi kita naik motor saja pak.” Saya hanya mengangguk dan membalas senyuman Adri. Di dalam hati saya, ada rasa sukur yang dalam karena tertolong oleh kawan-kawan yang mengerti, bahwa sebenarnya saya sudah sangat sulit melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Pangkal paha saya sudah mulai kram dan stamina terkuras selama perjalanan sudah sangat menurun.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dengan motor (ojek). Deru suara empat motor membelah keheningan hutan Pinogu. Medan yang menantang dengan jalur-jalur lumpur, membuat jantung saya berdetak kencang. Saya mengakui keahlian anak-anak pinogu membawa motor yang sudah di modifikasi, tidak ada bedanya di arena motor cross dengan special stage. Satu jam perjalanan dari pohulongo ke pusat kota Pinogu. Akhirnya, kami tiba di rumah kepala desa Pinogu jam 17.30.
Menikmati secangkir kopi Pinogu di pagi hari, memiliki sensasi tersendiri. Saya sudah nikmati banyak kopi dari seluruh negeri, tapi kopi Pinogu  memiliki cita rasa yang khas. Rasanya mirip-mirip kopi Mandailing Sumatra Utara atau kopi Takengon Nagro Aceh Darussalam. Aroma kopinya tidak terlalu menusuk seperti kopi Kalosi atau kopi Toraja, tapi kopi Pinogu lebih terasa ketika sudah di mulut.
Sambil menikmati Kopi, saya menanyakan arti “PINOGU” kepada ayahanda Kepala Desa Pinogu yang menemani saya minum kopi pagi itu. Menurut beliau secara harfiah, PINOGU artinya gelanggang tempat berkelahi. Sebelum Gorontalo terbentuk, raja-raja Suwawa menjadikan daerah ini sebagai tempat mengadu kesaktian dan keperkasaan bagi calon-calon pemimpin Suwawa. Dari akar sejarah inilah terlihat, daerah Pinogu memang daerah “keras”. Orang-orangnya memiliki daya juang dan semangat yang tinggi. Ini terbukti dari penataan kampung dan rumah-rumah yang ada di Pinogu. Meski daerah terisolasi, tapi bangunan yang ada rata-rata rumah batu permanen. Sekedar informasi, harga semen satu sak di Pinogu bisa mencapai Rp. 300.000,-
Selain kata Pinogu, saya juga mendapat cerita menarik tentang burung maleo. Menurut sekretaris desa Dataran Hijau, burung Maleo juga dikenal dengan nama lokal “tuangge” yang artinya burung peliharaan raja. Dulunya, burung maleo hidupnya bukan di hutan, karena dipelihara oleh raja  di sekitar kediamannya. Tapi suatu kejadi membuat raja murka akhirnya “tuangge” di buang ke hutan. Ceritanya begini; burung maleo setiap akan bertelur  slealu menggali tanah atau pasir dengan kedalaman tertentu untuk menyimpan telurnya. Perilaku maleo inilah hampir meruntuhkan istana raja, karena tanah yang menyangga tiang istana raja habis digali oleh si maleo.
Selesai mendengar cerita dari Ayahanda Kepala Desa pinogu dan Sekdes Dataran Hijau, Metro dan Arfan mendekati dan mengingatkan saya, agar segera bersiap untuk menghadiri sejumlah acara yang sudah diatur.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AKU, RUMAH BERANTAKAN, CENDOL, ISRAEL, PALESTINA (Bagian 2)

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Semoga kalian semua selamat serta beroleh rahmat dan berkah d...