CINTA UNTUK PINOGU
Banyak cinta untuk Pinogu. Cinta ini telah hadir pada
pribumi Pinogu dan mereka yang terlahir bukan sebagai pribumi Pinogu tapi telah
berhasil menginjakkan kaki di Pinogu. Seperti cinta yang hadir dalam diri kami,
Etnik.
Telah kami tekankan sebelumnya, bahwa kami berkeyakinan ada
sesuatu di Pinogu, dan sesuatu itu telah kami temukan jawabnya, yakni cinta.
Dalam diskusi yang cukup panjang, kami terus membahas tentang produk apa yang
akan kami hasilkan dari ekspedisi ini. Produk yang tidak saja memberikan nilai
bagi kami diawal langkah ini, tapi juga diharapkan produk ini dapat memberikan
arti dan nilai bagi banyak orang, khususnya bagi Pinogu.
Pada akhirnya inilah produk ekspedisi kami. Sebuah buku
untuk Pinogu. Rentang waktu ekspedisi dan penulisan buku ini terbilang amat
singkat. Namun walaupun demikian, kami tetap berusaha menggunakan metode dalam
penulisan buku ini. Metode yang kami gunakan adalah dengan cara memaksimalkan
Informasi dan data yang berhasil kami kumpulkan melalui wawancara singkat, studi
pustaka, dan artikel-artikel media, seperti
tulisan-tulisan para bloger yang telah lebih dulu diluncurkan melalui blog
pribadi mereka.
Pada bagian ini kami memutuskan untuk mengangkat artikel-artikel
bebas para bloger tentang Pinogu, serta beberapa artikel dari situs resmi.
Beberapa dari mereka adalah pribumi Pinogu, sedang yang lainnya adalah penulis
yang melabuhkan cintanya pada Pinogu dikarenakan kunjungan langsungnya kesana. Semoga
bagian ini dapat menambah cinta kita pada Pinogu.
Tulisan pertama ini adalah milik
Aris Prasetyo, Nasru Alam Azis pada Kamis, 29 Desember 2011 Pukul 09.47 WIB
Pinogu, Surga
yang Terpencil, Daerah terpencil (1)
Kompas/ Aris Prasetyo
Sebagian kecil rombongan dari pemerintah Kabupaten Bone
Bolango, Gorontalo, menembus hutan di Kawasan Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone, menuju Pinogu, Jumat (23/12/2011). Pinogu adalah sebuah kecamatan di
Bone Bolango yang berada di pedalaman.
Gorontalo,
Kompas.comPinogu adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi
Gorontalo yang terdiri dari empat desa, Pinogu, Bangiyo, pinogu Permai, dan
Dataran Hijau. Desa berpendudukn 2.040 jiwa ini berada di pedalaman hutan
kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Semua tanaman pertanian dan
perkebunan di tanah pinogu tumbuh subur, tapi sayang tidak bisa di jual keluar.
Letak Pinogu yang
sebenarnya tidak terlalu jauh, yakni hanya sekitar 30 kilometer dari Desa
Tulabolo, Kecamatan Suwawa timur, yang menjadi satu-satunya pintu masuk menuju
Pinogu. Ada tiga cara menuju Pinogu yakni lewat udara dengan helicopter,
berjalan kaki menembus hutan dan melewati lereng gunung, atau naik ojek dengan
ongkos sekali jalan Rp. 500.000. Bagi kebanyakan warga Pinogu, keluar dan
kembali ke desa mereka hanya mungkin dilakukan dengan berjalan kaki.
Perlu fisik prima dan
mental baja untuk berjalan kaki menuju Pinogu. Bagi yang belum terbiasa, perlu
waktu 9-10 jam berjalan kaki ke Pinogu. Menembus hutan, menyeberangi anak
sungai dan Sungai Bone, mendaki menyusuri lereng bukit, serta siap-siap digigit
lintah sepanjang perjalanan.
Akhir pekan lalu,
Kompas berkesempatan berkunjung ke Pinogu berjalan kaki bersama sekitar 90-an
pegawai dari berbagai dinas di Pemerintahan Kabupaten Bone Bolango. Berjalan
kaki sejak Jumat (23/12/2011) pukul 07.45 Wita, tiba di pinogu pada pukul
17.30. Sebagian rombongan ada yang tiba pukul 21.00 dan bahkan ada yang tiba
keesokan hari.
Setelah tiba di
Pinogu, kentara sekali jika daerah tersebut amat subur dan serba hijau. Di
sana-sini berbagai jenis tanaman perkebunan tumbuh segar, seperti kopi, kakao,
kemiri, durian, jagung, serta hamparan sawah yang sebagian baru mulai ditanam.
“Semua jenis tanaman
di Pinogu tidak menggunakan pupuk sama sekali sebab tanahnya sangat subur.
Beras kami adalah beras organik. Sayangnya, kebanyakan hasil panen di sini
tidak bisa dijual ke luar karena tingginya biaya angkut,” ungkap Kepala Desa
pinogu Harun Maini.
Tarif Ojek
Seharga Tiket Pesawat, Daerah Terpencil (2)
Kompas/ Aris Prasetyo
Tukang ojek yang mengantar penumpang menuju Kecamatan
Pinogu, kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, yang masuk dalam kawasan Taman
nasional Bogani Nani Wartabone, harus bersusah payah menaklukkan medan yang
berat, Minggu (25/12/2011). Dari desa terluar, yakni Desa Tulabolo, Kecamatan
Suwawa Timur, memerlukan waktu hingga 10 jam menggunakan sepeda motor. Ongkos
ojek mencapai Rp.500.000 sekali antar.
Gorontalo,
Kompas.com—Bisa jadi ongkos ojek ke Pinogu, sebuah kecamatan di Bone Bolango
Provinsi Gorontalo adalah ongkos ojek termahal. Betapa tidak, dengan jarak
sekitar 40 kilometer dari Desa Tulabolo Kecamatan Suwawa Timur yang menjadi
satu-satunya pintu masuk menuju Pinogu, ongkosnya Rp. 500.000 sekali jalan.
Tarifnya sudah menyamai harga tiket pesawat dari Gorontalo ke Makassar
(Sulawesi Selatan).
Sebenarnya, ada cara
lain selain naik ojek menuju Pinogu, yaitu berjalan kaki. Jarak yang ditempuh
juga lebih pendek 10 kilometer ketimbang jalur yang dilewati ojek. Hanya saja,
berjalan kaki memerlukan ketahanan fisik yang prima serta mental yang kuat.
Selain warga Pinogu yang hanya perlu 6 atau 7 jam saja, kebanyakan orang
memerlukan waktu 9 hingga 10 jam berjalan kaki menuju Pinogu, termasuk Kompas
yang berkunjung ke sana akhir pekan lalu.
“Jika musim hujan
begini, ongkos ojek memang mahal. Sebab, kondisi jalan rusak berat penuh
lumpur. Kalau musim kemarau, biasanya lebih murah, yaitu Rp.300.000 untuk
sekali jalan,” Tutur Tamin (30), salah satu petani pinogu yang berprofesi
sampingan sebagai tukang ojek.
Tingginya ongkos ojek
di Pinogu saat musim hujan seperti sekarang turut mendongkrak harga bensin
eceran. SeLiter bensin di Pinogu saat ini seharga Rp.15.000. untuk sekali
jalan, ojek di Pinogu membawa jeriken berisi bensin lima liter. Artinya, mereka
menghabiskan Sembilan liter bensin seharga Rp. 135.000. Harga bensin eceran di
Desa tulabolo adalah Rp. 7.000 per liter.
Jadi, pulang pergi
dari Pinogu sudah habis ongkos hampir Rp. 200.000 hanya untuk bahan bakar. “Itu
belum termasuk risiko rantai sepeda motor putus atau ban pecah di jalan.
Hal-hal seperti itu biasa kami alami saat mengantar penumpang,” Ujar Tamin.
Perlengkapan tukang
ojek Pinogu memang serba ada. Selain kunci untuk membuka mur atau baut, mereka
juga membawa pompa angina termasuk ban dalam sebagai cadangan jika
sewaktu-waktu bocor.
“Warga di Pinogu sangat
jarang naik ojek. Biasanya mereka berjalan kaki saat keluar atau kembali ke
Pinogu. Umumnya, yang naik ojek adalah para tamu pejabat saja dan itu pun
jarang-jarang,” Kata Tamin.
Waktu tempuh naik ojek
dengan berjalan kaki dari dan menuju Pinogu sama saja dengan berjalan kaki,
yakni sekitar 9 hingga 10 jam. Jika musim kemarau, menuju pinogu bisa
memerlukan waktu sampai 6 jam saja dengan ojek.
Tulisan kedua adalah milik Idris
Mataihu, diposkan pada 28 Februari 2012.
KECAMATAN PINOGU
Insya Allah
Pinogu Menjadi Kawasan Pertanian Organik
Pemerintah Kecamatan
Pinogu yang dimediasi oleh Pemerintah Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, akan
mengusulkan kawasan di Kecamatan Pinogu sebagai kawasan pertanian organik
kepada pemerintah pusat. Usulan itu dilatarbelakangi semua produk pertanian dan
perkebunan di Pinogu yang bebas dari obat-obatan kimia.
“Seluruh beras maupun
hasil kebun, seperti kopi, kakao, dan kemiri, bebas dari bahan kimiawi sebab
tanah di Pinogu subur. Kami akan usulkan ke pemerintah pusat untuk membantu
mengembangkan Pinogu sebagai kawasan pertanian dan perkebunan organik,” ujar
pelaksanan Tugas Bupati Bone Bolango Hamim Pou, Selasa (10/1/2012), di
Gorontalo.
Hamim menambahkan, di
Pinogu ada lahan seluas 2.000 hektar yang siap di cetak menjadi sawah baru.
Hanya saja, kata dia, kendala utama untuk mengangkut hasil panen di Pinogu
adalah infrastruktur jalan.
Selama ini jalan
menuju Pinogu tidak bisa ditempuh dengan roda empat. Untuk mengangkut hasil
panen dari Pinogu ke kota kabupaten, karena harus di pikul berjalan kaki selama
9-10 jam melalui kawasan hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Menurut Camat Pinogu
Moh. Idris Mataihu, SP.d, MM, beras Pinogu sampai sekarang belum pernah
dipasarkan ke luar Pinogu. Letak Pinogu yang berada di pedalaman hutan taman
nasional berjarak 45 kilometer dari Desa Tulabulo, Kecamatan Suwawa Timur, yang
merupakan satu-satunya pintu masuk ke Pinogu.
Jika dipasarkan ke
luar Pinogu harganya membengkak karena ditambah ongkos angkut Rp. 5000 per
kilogram (kg). Harga beras organic di Pinogu Rp 10.000 per kg dan jika
dipasarkan ke luar setidaknya seharga Rp 16.000 per kg sehingga ada laba Rp
1000 per kg.
Tanah Pinogu dikenal
subur dan tidak memerlukan pupuk untuk tanaman padi. Sampai sekarang, Pinogu
dikenal sebagai daerah penghasil organik terbesar di Gorontalo. Luas sawah di
Pinogu saat ini adalah 163 hektar dan telah menghasilkan gabah sebanyak 1.017
ton sepanjang tahun ini.
Tulisan yang ketiga adalah milik
seorang pribumi Pinogu diposkan pada Rabu, 18 Juli 2012 pukul 11.09
Desaku Tercinta
Pinogu
Inilah suasana Desa
Pinogu Kecamatan pinogu Kabupaten Bone Bolango. Suasana yang masih asli dan
belum terkena polusi kenderaan bermotor. Dengan masyarakat yang ramah dan juga
baik hati. Pohon-pohon yang hijau dan suasana alamiah masih terasa di Desa
Pinogu Kecamatan Pinogu Kabupaten Bone Bolango. Dengan masyarakat yang hidup
bahagia dan sejahtera, saling membantu satu sama lain.
Andaikan saja
kehidupan di bumi ini bagaikan Desa Pinogu yang bersih dari polusi dan sejuk
tersebut, mungkin semua umat manusia bisa menghirup udara segar yang baik untuk
kesehatan tubuh dan juga bukan itu saja Pinogu adalah kekayaan alam yang
tersembunyi, surge dunia yang paling indah, masyarakat yang begitu damai dan
saling membahu.
1 Komentar:
Irens Park Rauf Aditya Haling Siagian 8 Desember 2012 pukul
07.34
Nice post gan. Saya juga lahir di Pinogu tapi besar di perantauan,
berdomisili terakhir di Kota Bitung. Pas saya lihat keadaan Pinogu dari
internet, rasanya saya ingin pulang kampong secepatnya. Ngomong-ngomong, anda siapa dan tinggal di lorong berapa. Kalau
saya dulunya di lorong 4. Salam kenal.
Tulisan yang keempat adalah
milik admin Kecamatan Pinogu diposkan pada Sabtu, 08 Juni 2013 pukul 20.57.19
WIB
KAUM PEREMPUAN
AKTIF MEMBANGUN PINOGU
Kategori: Kesejahteraan
Budaya gotong royong yang dari sejak nenek moyang masyarakat
Pinogu sampai sekarang masih terpelihara
dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh sebagian besar kaum perempuan Pinogu yang
selalu membantu Pemerintah Desa dan Pemerintah Kecamatan Pinogu khususnya dalam
membangun dalam membangun jalan desa di wilayah desanya masing-masing. Untuk
laki-laki mereka mengerjakan pekerjaan di sawah/ladang dan perkebunan mereka,
sedikit demi sedikit Pinogu sudah mengalami perubahan drastis karena perhatian
Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Bupati Bone Bolango Hamim Pou, S.Kom, MH
yang dengan kesungguhan beliau memperhatikan Pinogu apalagi Pinogu sekarang sudah menjadi
kecamatan definitif ke-18 dan mampu sejajar dengan kecamatan-kecamatan lain di
Kabupaten Bone Bolango. Kesungguhan Bupati Bone Bolango inilah yang membuat
kaum gender Pinogu turut serta
berpartisipasi dalam membangun Pinogu. Semoga Pinogu ke depan akan menjadi ikon
Pembangunan berbasis masyarakat dalam kerangka “DESA TUMBUH DAERAH MAJU” (id’s).
Tulisan yang kelima adalah milik
Syam Terrajana pada degorontalo.co
Lingkungan>Agraria
Pahit Kopi
Pinogu, Tak Sepahit Kisah Ini
DEGORONTALO – Ningsih Maramis (37) hanya bisa menarik nafas
panjang. Betapa tidak, hampir 30 kilogram bubuk kopi organik hasil produk
kelompoknya belum juga terbayar lunas.
Padahal sejak desember
tahun lalu, kopi dalam kemasan 100 dan 200 gram itu, sudah dia setorkan pada
salah satu pegawai dinas pertanian Bone Bolango yang bertindak sebagai
distributor.
“Uang baru akan
dibayarkan setelah produk terjual. Waktunya tidak bisa ditentukan, itupun
dibayar dengan cicilan,” keluh ibu tiga anak, petani kopi organik dari
Kecamatan Pinogu.
Pinogu adalah
Kecamatan enclave dalam Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Dihuni
2000 jiwa. Letaknya pun sangat terpencil. Hanya dua ada dua akses jalan;
pertama berjalan kaki menyusuri hutan sejauh 30 kilometer. Kedua dengan
menunpang motor ojek sejauh 46 kilometer.
Tapi jangan ditanya
medan jalannya; curam dan ekstrim. Juga rawan longsor. Jika berjalan kaki,
butuh waktu 8-14 jam. Nyaris lima tahun belakangan pemerintah daerah setempat
menggadang-gadang kopi Pinogu sebagai salah satu komoditas unggulan.
Selain dipercaya
sebagai tanah leluhur dan muasal orang Gorontalo, Pinogu boleh disebut sebagai “negeri kopi”.
Nyaris setiap warga setempat memiliki kebun kopi sendiri dengan luas
bervariasi.
Wilhelmina
Tanaman kopi di
kawasan berketinggian 300 meter dari atas permukaan laut itu, punya rentang
sejarah panjang. Pada 1875 silam, Kolonial Belanda membawa bibit kopi Liberica.
Namun hal itu kemudian mendapat penolakan dari pihak kerajaan Suwawa yang
menguasai wilayah itu.
Alhasil kopi liberika
dari Pinogu yang konon disukai Ratu
Wilhelmina, dibiarkan tumbuh liar hingga jadi hutan kopi. Hingga kini hutan
kopi itu masih dijumpai di Pinogu. Pada 1970, pemerintah orde baru memberikan
bantuan bibit kopi Robusta kepada petani setempat.
Tanah Pinogu yang
subur karena sisa endapan lahar gunung berapi membuat tanaman tumbuh sempurna.
Itu sebabnya, petani di sana tidak membutuhkan pupuk kimiawi. Tanaman hanya
membutuhkan perawatan seperlunya saja. Organik.
“Kopi Pinogu yang kini
dalam kemasan itu, adalah campuran jenis Liberika dan Robusta pilihan,” tambah
Nurdin Maini Ketua Asosiasi Petani Kopi Pinogu. Pada tahun 2012 lalu.
Pemerintah daerah memberikan bantuan berupa seperangkat alat pengolahan dan
produksi pada petani kopi di Pinogu, bahkan produknya pernah dipromosikan
hingga ke Berlin, Jerman.
Tidak Adil
Namun demikian,
menurutnya hal itu belum sebanding dengan apa yang diperoleh petani. Mekanisme
pasar yang berbelit-belit membuat petani kesulitan.
Pasalnya, petani harus
“membeli” logo kopi Pinogu yang lebih mirip lisensi, kepada oknum pegawai dinas
pertanian Bone Bolango yang mengklaim diri sebagai distributor tunggal.
“Dikatakan oknum, karena dia mendistribusikan kopi Pinogu dengan
menggunakan nama pribadi,” tutur Nurdin.
Katanya, harga dasar
yang ditawarkan petani pada sang distributor itu berkisar 15-25 ribu rupiah,
masing-masing untuk kemasan 100 dan 200 gram. Tapi yang diterima petani malah
kurang dari itu. Hanya 9000-19.500 rupiah. Alasannya, harga terpotong biaya logo.
Padahal setelah dijual
di toko dan di supermarket di Gorontalo, harga kopi Pinogu mencapai 17-30 ribu
rupiah. Nurdin mengatakan, hingga kini masih ada 4.000 sachet kopi
kemasan milik petani yang belum dibayarkan.
Karena itu juga, menurutnya banyak petani
lebih memilih menjual kopi biji mentah dengan
harga 23 ribu per kilogram, dibayar tunai. Nurdin khawatir, jika
mekanisme pasar yang adil bagi petani tidak tersedia, kebanyakan petani akan
beralih menjadi penambang emas seperti dulu. Pinogu memang berdekatan dengan
lokasi penambangan emas tradisional.
“Tambang emas tidak
selalu menghasilkan, disamping itu, banyak yang percaya jika uang hasil tambang
sifatnya “panas”, cepat habis tanpa diketahui. Kami susah payah membujuk warga
untuk tetap menanam kopi, agar tidak lagi menambang dan merusak lingkungan,
tapi jika keadaannya terus begini, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” bebernya.
Saat ini tercatat ada
225 hektar lahan kebun kopi Robusta di Pinogu. Warga juga tengah membudidayakan
kopi Liberica.
Di tempat terpisah,
Bupati Bone Bolango, Hamiem Pou, mengatakan Pinogu memang bukanlah perkara
mudah mengingat akses jalannya yang sulit dijangkau. Sebelumnya pemerintah
telah membangun jalan beton sepanjang tiga kilometer. Tahun ini, aka nada
penambahan jalan dengan anggaran satu miliar rupiah.
Terkait mekanisme
pasar, menurutnya sementara ini memang masih dikendalikan oleh Pemda, dengan
dalih untuk menghindari pembajakan produk. Tapi dia tidak mau mengomentari soal
ulah oknum pegawai yang menguasai distribusi kopi Pinogu.
Tulisan yang keenam adalah milik
Sutiono Gunadi diposkan pada 13 Mei 2015 pukul 07.05.54
Kopi Pinogu, Perjalanan
Dramatis, dari Biji Hingga Secangkir Kopi
Menghirup kopi hitam panas maupun kopi yang sudah dicampur
susu seperti latte atau cappuccino di pagi hari sebelum mulai beraktifitas atau
saat berangkat ke tempat kerja, saat jeda di kantor, saat makan siang ataupun
di sore hari saat perjalanan dari kantor menuju rumah adalah sebuah rutinitas
yang banyak dilakukan banyak orang.
Itulah sebabnya bisnis
warung kopi, mulai dari warung kopi pinggir jalan atau terminal bis hingga
warung kopi di mall-mall tidak pernah sepi dari pengunjung setianya.
Indonesia adalah negara
penghasil kopi yang sangat diperhitungkan di bursa kopi dunia sejak era VOC
hingga sekarang. Cukup banyak kopi yang sangat terkenal karena banyak dicari
orang, seperti kopi Aceh, kopi Lampung, kopi Toraja dan kopi Wamena.
Kopi Pinogu
Kopi Pinogu adalah
kopi yang tumbuh di kawasan hutan lindung Taman Nasional Bogani Nani Wartabone,
yang berada di Kecamatan Pinogu, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
Akses jalan dari Gorontalo ke hutan lindung ini memerlukan waktu tempuh yang
cukup lama, karena harus melalui medan yang sulit dan penuh tantangan. Kawasan
ini merupakan daerah yang paling terisolasi di Provinsi Gorontalo, berada di
ketinggian 300 meter dari permukaan laut. Untuk mencapainya dengan kenderaan
roda dua memerlukan waktu tempuh 6-8 jam karena jalan berbatu dan berlumpur
atau berjalan kaki melalui sejumlah punggung bukit dan menyeberangi sungai Bone
yang harus waspada agar tidak digigit lintah selama 12 jam.
Sebenarnya letak
Pinogu tidak terlalu jauh, hanya sekitar 30 km dari desa tulabolo, Kecamatan
Suwawa timur, yang merupakan pintu masuk satu-satunya ke Pinogu. Ada tiga cara
mencapai Pinogu, berjalan kaki menembus hutan dan melalui lereng gunung, naik
ojek dengan ongkos sekitar 1 juta rupiah pulang-pergi atau helicopter sebagai
matra udara. Namun pilihan petani kopi Pinogu pada umumnya berjalan kaki.
Di wilayah ini bukan
sekedar hamparan kebun kopi, namun merupakan hutan kopi Sinondo’o yang belum
berpenghuni. Hutan ini didominasi kopi jenis Liberica yang benihnya dibawa oleh
pedagang Belanda di abad 19 dan pohonnya sudah mencapai ketinggian 10 meter.
Pengembangan kopi Liberica kurang berhasil karena tidak didukung oleh kerajaan
Suwawa.
Pada tahun 1970
pemerintah daerah membudidayakan kopi jenis Robusta hingga seluas 225 hektare
yang tersebar di empat desa; Pinogu, Bangiyo, Pinogu Permai dan Datarn Hijau.
Karena belum adanya
sarana jalan yang memadai, berakibat pemasaran kopi Pinogu banyak terkendala
perkembangannya. Padahal kopi Pinogu adalah kopi organik yang ditanam tanpa
menggunakan bahan kimia dan pestisida. Sulitnya menuju lokasi menyebabkan
petani kopi enggan menggunakan pupuk pestisida. Disamping kesuburan tanah yang
tinggi, yang berasal dari daun yang gugur yang dibiarkan terurai oleh
mikroorganisme tanah. Yang secara otomatis menjadi pupuk alam bagi kopi.
Dedaunan itu berasal dari tanaman penyangga kopi, seperti durian, langsat,
dadap, kakao, dan kemiri.
Tulisan yang ketujuh adalah
milik Wahyudin Kessa diposkan pada Sabtu, 08 Juni 2013 pukul 04.31
PERJALANAN
CINTA PINOGU
Fajar belum terbit,
Pak Nani sudah hadir di depan kamar kontrakan saya, untuk mengantar kami ke
Suwawa Timur. Seluruh perlengkapan yang sudah disiapkan sebelumnya, dinaikkan
di kenderaan. Sambil menunggu Adri, asistem fasilitator teknik Kabbupaten Bone
Bolango yang menemani perjalanan saya ke Pinogu, saya memeriksa kembali seluruh
perlengkapan yang kami butuhkan, sambil meneguhkan keyakinan.
Tepat jam 5 pagi, Adri
tiba di kamar kontrakan saya. Tanpa membuang waktu, kami pun melaju menuju arah
timur kota Gorontalo. Udara dingin terasa menusuk tulang, karena jendela mobil
dibiarkan terbuka. Adri tidak tahan jika jendela mobbil ditutup. Di Kabila,
kami menjemput Andi Ismad, Fasilitator Teknik Kecamatan Pinogu. DI Suwawa
Tengah kami mampir di warung untuk sarapan pagi. Matahari mulai terlihat dari
arah timur, saat kami meninggalkan warung nasi kuning itu.
Jam 07.00 kami tiba di
pasar Tulabolo, Suwawa Timur, tempat terakhir yang dapat dijangkau oleh
kenderaan roda empat. Di Tulabulo kami istrahat agak lama, sambil menunggu
Arfan, Ketua Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Suwawa Timur, yang juga akan
menyertai perjalanan saya. Dua puluh menit kemudian, Arfan muncul dengan sepatu
bot yang lengkap. Melihat Arfan yang sangat siap dan berpengalaman menjelajahi
hutan Pinogu, kepercayaan diri saya semakin kuat. Sekarang, sudah ada 3 orang
yang akan mengawal perjalanan saya ke Pinogu; Adri, Andi Ismat dan Arfan.
Dengan bantuan mereka, saya akan menuju Pinogu dengan jalan kaki sejauh kurang
lebih 30 km mengarungi medan yang menanjak mengarungi medan yang menanjak
menelusuri lereng-lereng gunung dan melintasi sungai yang berbatu di dalam
kawasan Taman Nasional Nani Wartabone. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, jika
orang baru ke Pinogu dengan rute jalan kaki, biasanya waktu tempuhnya sampai 13
jam perjalanan.
Arfan dan Andi Ismad
mengumpulkan seluruh pakaian yang tidak kami butuhkan diperjalanan, kemudian
dia titipkan kepada tukang ojek yang akan ke Pinogu, tujuannya agar tidak
banyak beban yang harus dibawa di perjalanan. Setelah itu, kami berempat
diantar naik ojek ke tempat pendakian awal, “tanjakan perkenalan dan selamat
datang”.
Sebelum melakukan
pendakian kami semua berkumpul dan melakukan pelemasan otot. Arfan dan Adri
bertanya kepada saya, “Apakah bapak sudah siap?”. Saya jawab; saya siap lahir
batin. Bagi saya perjalanan ini adalah perjalanan bersejarah dan penuh arti.
Saya akan buktikan bahwa saya sangat mencintai rakyat Pinogu. Meski ada
alternatif naik ojek, saya tetap ingin merasakan apa yang dirasakan oleh
saudara saya di Pinogu. Untuk itu ekspedisi ini saya beri nama “PERJALANAN
CINTA PINOGU”
Setelah melemaskan
otot-otot dan meneguhkan keyakinan untuk mencapai pinogu, maka langkah pertama
kuayunkan untuk menaiki tanjakan pertama, “tanjakan selamat datang”. Dua puluh
langkah pertama, saya sudah mulai merasakan beratnya tanjakan pertama ini.
Napas ku atur sebaik mungkin agar tidak terlihat rapuh oleh Adri, Ismad dan
arfan. Saya mencoba menikmati suasana alam yang indah, dengan sinar mentari
pagi yang menerobos lewat sela-sela rindangnya pepohonan, sedikit mengurangi
kepenatan yang mulai menggantung di kaki. Ini baru awal, tapi napas sudah agak
sulit diatur.
Saya istrahat sejenak
di jarak 250 meter pertama, sambil bertanya kepada Ismad, “berapa panjang
tanjakan ini Ismad?”. “Sekitar dua kilo meter pak,” Jawab Ismad. Keringatku
mulai mengucur deras, kutatap satu persatu orang-orang yang mengawal saya.
Arfan mengerti maksudku, “tinggal sedikit lagi tanjakannya yang sulit pak,
setelah ini cenderung landau dan sedikit mendaki,” kata Arfan memberi semangat
kepada saya.
Langkah pun ku ayun
kembali menuju tempat peristrahatan pertama di jarak dua kilometer. Tiba di
tempat istrahat pertama, sebuah pondok yang menyediakan penganan ringan bagi
pejalan kaki, dan waktu telah menunjukkan jam 08.00. Ini adalah pondok terakhir
sebelum kami memasuki hutan Taman Nasional Nani Wartabone. Di tempat ini kami
beristirahat cukup lama untuk memulihkan tenaga yang terkuras pada “tanjakan
selamat datang”. Sekitar 30 menit waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan kopi
yang dipesan Arfan. Setelah merasa pulih kembali, kami melanjutkan perjalanan.
Dari tempat istirahat pertama ini, kami melalui jalan setapak yang menurun. Ini
sangat membantu saya yang sudah hampir kehabisan tenaga. Jalan menurun ini
sekitar satu kilo meter hingga di sungai yang airnya terasa asin. Dari sungai
ini, kami meneruskan perjalanan dengan sedikit mendaki. Sekitar 15 menit
perjalanan, kami memasuki kawasan konservasi burung maleo. Kawasan konservasi
ini tidak terlihat ada tanda-tanda aktifitas yang menonjol, hanya hutan bamboo
dengan papan petunjuk area konservasi.
Setelah mengamari
aktifitas di aera konservasi burung maleo selama 5 menit, kami kembali
melanjutkan perjalanan. Dengan melewati hutan bamboo yang cukup lebat, kami
mencapai kawasan padang ilalang yang cukup luas. Di tempat ini terdapat mata
air panas dengan suhu tinggi yang dapat digunakan untuk memasak telur.
Hungayono, demikian orang menyebut sumber air panas tersebut. Kami tiba di
tempat ini jam 9.15. Sambil duduk di atas hamparan batu besar, Adri
mengeluarkan telur ayam yang akan dimasak di sumber air panas tersebut. Lima
belas menit kami menunggu, dan telur itu sudah siap kami santap.
Setelah 20 menit di
Hungayono, kami melanjutkan perjalanan menuju titik peristirahatan berikutnya.
Dua biji telur setengah matang yang saya santap, menjadi energi tambahan untuk
melakukan pendakian kedua menuju sungai Pomaguo.
Perjalanan menurun
sampai sungai Pomaguo, membuat perjalanan semakin cepat. Hanya 15 menit jalan
kaki, kami sudah ada di bibir sungai Pomaguo. Untuk mengefektifkas waktu, kami
tidak istrahat di sungai ini, hanya mengisi air minum dari sungai yang mengalir
jernih. Kami baru istrahat agak lama ketika mencapai sungai Utadu tepat jam
10.00.
Arfan mengingatkan
kepada saya, agar istirahat lebih lama di sungan Utadu ini. Pendakian yang akan
dilalui merupakan pendakian paling sulit. Panjangnya hanya sekitar dua kilo
meter, namun kemiringannya mencapai 30 derajat. Sambil istirahat, saya minta
Adri mengurut betis dan paha saya yang mulai terasa kram. Menurut Arfan,
tanjakan ini sudah banyak memakan korban, dan tidak bisa melanjutkan perjalanan
karena mengalami cedera otot. Untuk itu, saran Arfan, jangan memaksakan diri
dalam pendakian.
Tiga puluh menit waktu
yang kami gunakan untuk istirahat guna pemulihan tenaga. Jam menunjukkan 10.30
di saat langkah pertama ku ayun untuk menaiki tanjakan paling ekstrim di
perjalanan ini. Langkah ku atur sedemikian rupa agar bisa mencapai puncak dengan
selamat. Perlahan dan sangat hati-hati. Pikiran sengaja kualihkan ke hal-hal
yang lain, agar tidak fokus memikirkan panjangnya tanjakan ini. Tidak kurang
sepuluh kali saya singgah istrahat dan menghabiskan air dua botol ukuran
sedang. Di jarak perjalanan satu kilo meter, jantung saya mulai berdenyut
kencang membuat pendengaran dan penglihatan saya agak kabur. Adri dan Arfan
meminta saya untuk istirahat, sementara Adri Ismad mengawasi saya dari
belakang. Saya memilih pohon yang agak besar untuk bersandar. Ku atur napas dan
meluruskan kaki yang mulai kelelahan sambil membesarkan hati dan meneguhkan
keyakinan bahwa saya pasti bisa.
Saya berhasil mencapai
puncak tanjakan setelah berjuang selama dua jam. Arfan menawari saya istirahat
dipuncak tanjakan, tapi saya menolaknya. Saya ingin segera tiba di sungai Buluwee
untuk makan siang. Kami pun meluncur turun kea rah sungai, dan 15 menit
kemudian kami tibba di sungai Buluwee. Tanpa peduli dengan yang lain, saya
langsung buka sepatu dan merendam kaki di air sungai yang dingin. Ku minum air
sungai langsung menggunakan tangan, karena sudah tidak sempat mengisi air botol
yang sudah kosong. Penglihatan yang awalnya berkunang-kunang berangsur pulih
setelah kepala kubasuh dengan air sungai yang segar.
Adri membuka bekal
dari ranselnya, kemudia mengajak kami makan. Saya memilih untuk bersandar di
batu besar, ada rasa lelah yang menyerang seluruh badan saya. Adri mengantar
nasi bungkus di dekat saya, tapi saya tidak mengambilnya. Kubiarkan nasi
bungkus itu tergeletak beberapa saat, setelah yang lain selesai makan siang
baru kuambil nasi bungkus berikut abon sapi yang sudah disiapkan oleh Arfan.
Setelah makan siang, kami lanjutkan pendakian menuju puncak gunung potong.
Panjang tanjakan ini tidak terlalu jauh, hanya sekitar 700 meter. Di
pertengahan tanjakan, paha saya mengalami kram sehingga sulit untuk digerakkan.
Saya minta Adri untuk mengurutnya dengan obat oles anti kram yang dibawanya.
Butuh waktu 10 menit untuk memulihkan otot saya yang kram. Setelah itu, kami
melanjutkan perjalanan dengan kaki setengah diseret. Akhirnya kami tiba di
puncak gunung potong tepat jam 13.15.
Puncak Gunung Potong,
saya sudah merasakan kelelahan yang luar biasa. Kaos IPPMI (Ikatan Pelaku
Pemberdayaan Masyarakat Indonesia) yang saya pakai seluruhnya basah dengan
keringat. Ternyata bukan hanya saya yang merasakan kelelahan, Adri juga sudah
kelihatan keletihan. Sementara Arfan dan Andi Ismad tetap segar bugar, mereka
tetap wara-wiri memotrer alam sekitarnya. Gunung potong adalah gunung yang
dipotong dibagian tengahnya untuk memperpendek jalur perjalanan. Sebelum gunung
ini di potong (lebih tepat kalau dikatakan dibelah), pejalan kaki harus memutar
sejauh sekitar 60 meter dengan kemiringan 35 derajat. Proses pembelahan gunung
ini dilakukan secara manual oleh masyarakat Pinogu. Tidak ada cerita berapa
lama proses pembelahan gunung tersebut dilakukan, yang pasti dengan pemotongan
gunung ini dilakukan secara manual oleh masyarakat Pinogu. Tidak ada cerita
berapa lama proses pembelahan gunung tersebut dilakukan, yang pasti dengan
pemotongan gunung tersebut mempermudah pejalan kaki melintasi gunung ini.
Menurut Arfan, yang
sudah puluhan kali melintasi hutan ini, kami sudah melewati lebih dari setengah
perjalanan, dan tidak adalagi tanjakan yang terlalu berat diperjalanan ke
depan. Titik perjalanan yang dituju sekarang adalah Pohulongo yang merupakan
daerah perbatasan Kecamatan Suwawa Tmur dengan Kecamatan pinogu. Kedua
kecamatan ini diantarai oleh Sungai Bone yang lebarnya sekitar 100 meter.
Sebelum TNI menyelesaikan jembatan gantung Pohulongo dua bulan lalu,
penyeberangan dilakukan dengan menggunakan rakit bambu.
Dari Gunung Potong
kami melanjutkan perjalanan menurun sejauh dua kilometer. Dengan banyaknya
pohon-pohon besar yang tumbang melintang di tengah jalan, sedikit menghambat
perjalanan. Melintasi pohon besar yang tumbang, ternyata sama sulitnya dengan
menaiki tanjakan dengan kemiringan 30 derajat.di setiap akan melintasi pohon,
saya harus istirahat sejenak untuk mengumpulkan tenaga. Satu jam perjalanan
dari Gunung Potong, kami dengar suara motor. Adri menyampaikan kepada saya
bahwa tinggal 20 menit perjalan akan sampai di jembatan Pohulongo. Saya sangat
terhibur dengan penyampaian Adri, dan tanpa sadar ku ayun langkah secepat
mungkin. Dua puluh menit berlalu, jembatan Pohulongo belum juga terlihat. Saya
menatap Adri dan Arfan sambil bertanya, apakah langkah saya terlalu lambat
sehingga kita belum tiba di jembatan Pohulongo? Adri menjawab, bahwa itu adalah
cara untuk membuat saya bersemangat dan melangkah lebih cepat. Sialan Adri…!!! Setelah suara motor itu
berlalu perjalanan kembali sunyi. Saya tidak lagi banyak bertanya, karena Arfan
juga sudah tidak bisa menjawab pertanyaan saya. Di benak saya, hanya ada satu
kata; “terus melangkah, sekecil apapun langkah itu akan membuat saya tiba di
Pinogu”. Saya terus melangkah melihat
ujung-ujung sepatu. Tiba-tiba dari belakang Adri berteriak, “Jembatan”. Ya,
kami sudah tiba di jembatan Pohulongo, jam telah menunjukkan angka 15.30.
Di Pohulongo, kami
istirahat di warung kopi satu-satunya di tempat ini. Kami disuguhi kopi Pinogu
yang terkenal itu. Saya menikmati aroma kopinya yang khas, kemudian meminumnya
sedikit demi sedikit. Sungguh kenikmatan yang tiada tara “KOPI PINOGU”.
Sambil menikmati kopi
Pinogu, di warung kopi Polohungo, saya mencoba menggali informasi dari pemilik
warung, dan beberapa informasi saya tanyakan untuk menghilangkan rasa penasaran
saya. Sebelum melakukan perjalanan cinta ini, saya sudah mengumpulkan berbagai
informasi mengenai daerah-daerah yang akan dilewati, kesulitan medan, dan bekal
apa saja yang perlu kami siapkan. Tentang Pohulongo, saya menemukan kenyataan
berbeda dengan cerita yang saya dengar mengenai “seramnya” situasi
penyeberangan ini. Cerita tentang buaya yang menghadang, dan lebatnya hutan di
sekitarnya ternyata tidak saya temukan. Situasi Pohulongo sudah berubah jauh.
Dengan jembatan gantung yang terlihat anggun, dan jalanan yang sudah diperlebar
oleh ekspedisi NKRI TNI AD, menghilangkan kesan angker tempat ini.
Menurut pemilik warung,
untuk mencapai ibu kota kecamatan Pinogu yang berjarak 9 km dari Pohulongo,
masih dibutuhkan waktu perjalanan selama 2 sampai 3 jam dengan jalan kaki.
“Apakah masih ada tanjakan?” itu pertanyaan yang saya ajukan ke pemilik warung.
Jawabnya, “masih ada beberapa bumbung (gunung), pak, tapi sudah tidak terlalu
tinggi dan jalannya juga sudah luas, jadi sudah lebih enak”. Sambil melirik
gelas kopi yang isinya sudah dibawah setengah saya bertanya kepada Ismad dan
Arfan, apakah kita sudah siap melanjutkan perjalanan?. Saya tidak mendapatkan
jawaban spontan dari mereka. Arfan dan Ismad hanya mengatakan, “Kita tunggu
sebentar lagi pak”.
Saya meraih sepatu dan
memasangnya kembali. Kaki saya mulai terasa kesemutan dan pangkal paha agak
sulit digerakkan. Saya dihantui keraguan. Apakah saya masih bisa menyelesaikan
etape terakhir ini?. Kulihat Adri juga sudah mengalami penurunan stamina yang
luar biasa. Air O** yang menjadi andalannya sudah habis karena berbagi dengan
saya.
Kulihat jam yang
tergantung di warung itu, tepat menunjukkan jam empat sore. Saya berdiri dan
mengajak mereka untuk melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba dua motor melaju dengan
suara yang memekakkan telinga mendekati warung kopi. Ismad melambai kea rah
motor tadi, dan mereka berhenti di sisi jalan. “Bapak naik ojek saja dengan Pak
Adri, biar saya jalan kaki dengan Arfan,” Kata Ismad kepada saya. “Ismad, ini
di luar dari skenario perjalanan saya. Kalau toh kita harus naik motor sampai
ke Pinogu, maka kita harus jalan bersamaan. Saya tidak mau naik motor bersama
Adri kalau Ismad dan Arfan tidak naik motor juga.”
Arfan berusaha
membujuk saya agar saya naik motor bersama Adri, tapi saya bertahan. Belum
selesai kami berdiskusi mengenai siapa yang naik motor dan siapa yang jalan
kaki, dua motor kembali meluncur dari arah Pinogu. Rupanya Ismad dan Arfan
sudah mengatur skenario penjemputan saya di perbatasan ini. Anak-anak TPK Pinogu, dimobilisasi untuk menjemput kami
di Pohulongo. Melihat empat motor parkir di depan kami, Adri tersenyum kepada
saya, dan berkata, “Jadi kita naik motor saja pak.” Saya hanya mengangguk dan
membalas senyuman Adri. Di dalam hati saya, ada rasa sukur yang dalam karena
tertolong oleh kawan-kawan yang mengerti, bahwa sebenarnya saya sudah sangat
sulit melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Pangkal paha saya sudah mulai
kram dan stamina terkuras selama perjalanan sudah sangat menurun.
Akhirnya kami
melanjutkan perjalanan dengan motor (ojek). Deru suara empat motor membelah
keheningan hutan Pinogu. Medan yang menantang dengan jalur-jalur lumpur,
membuat jantung saya berdetak kencang. Saya mengakui keahlian anak-anak pinogu
membawa motor yang sudah di modifikasi, tidak ada bedanya di arena motor cross
dengan special stage. Satu jam perjalanan dari pohulongo ke pusat kota Pinogu.
Akhirnya, kami tiba di rumah kepala desa Pinogu jam 17.30.
Menikmati secangkir
kopi Pinogu di pagi hari, memiliki sensasi tersendiri. Saya sudah nikmati
banyak kopi dari seluruh negeri, tapi kopi Pinogu memiliki cita rasa yang khas. Rasanya
mirip-mirip kopi Mandailing Sumatra Utara atau kopi Takengon Nagro Aceh
Darussalam. Aroma kopinya tidak terlalu menusuk seperti kopi Kalosi atau kopi
Toraja, tapi kopi Pinogu lebih terasa ketika sudah di mulut.
Sambil menikmati Kopi,
saya menanyakan arti “PINOGU” kepada ayahanda Kepala Desa Pinogu yang menemani
saya minum kopi pagi itu. Menurut beliau secara harfiah, PINOGU artinya
gelanggang tempat berkelahi. Sebelum Gorontalo terbentuk, raja-raja Suwawa
menjadikan daerah ini sebagai tempat mengadu kesaktian dan keperkasaan bagi
calon-calon pemimpin Suwawa. Dari akar sejarah inilah terlihat, daerah Pinogu
memang daerah “keras”. Orang-orangnya memiliki daya juang dan semangat yang
tinggi. Ini terbukti dari penataan kampung dan rumah-rumah yang ada di Pinogu.
Meski daerah terisolasi, tapi bangunan yang ada rata-rata rumah batu permanen.
Sekedar informasi, harga semen satu sak di Pinogu bisa mencapai Rp. 300.000,-
Selain kata Pinogu,
saya juga mendapat cerita menarik tentang burung maleo. Menurut sekretaris desa
Dataran Hijau, burung Maleo juga dikenal dengan nama lokal “tuangge” yang
artinya burung peliharaan raja. Dulunya, burung maleo hidupnya bukan di hutan,
karena dipelihara oleh raja di sekitar
kediamannya. Tapi suatu kejadi membuat raja murka akhirnya “tuangge” di buang
ke hutan. Ceritanya begini; burung maleo setiap akan bertelur slealu menggali tanah atau pasir dengan
kedalaman tertentu untuk menyimpan telurnya. Perilaku maleo inilah hampir
meruntuhkan istana raja, karena tanah yang menyangga tiang istana raja habis
digali oleh si maleo.
Selesai mendengar
cerita dari Ayahanda Kepala Desa pinogu dan Sekdes Dataran Hijau, Metro dan
Arfan mendekati dan mengingatkan saya, agar segera bersiap untuk menghadiri
sejumlah acara yang sudah diatur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar