PANGGILAN CINTA TERSIRAT DARI PINOGU UNTUK GORONTALO,
UNTUK INDONESIA
Menjadi negara yang maju merupakan cita-cita Bangsa
Indonesia. Karena itu pembangunan di berbagai sektor gencar dilaksanakan. Pada
masa ini pembangunan lebih dititikberatkan pada perbaikan infrastruktur. Untuk
mempermudah kinerja pemerintah pusat, maka otonomi adalah jawaban yang dituju.
Isu tentang otonomi telah ada sejak lima tahun pasca
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, yakni tahun 1950. Dalam sebuah pidato
tertanggal 22 November 1950 berjudul: “Otonomi
janganlah menjadi beban pemerintah pusat” Mohammad Hatta menguraikan:
Pusat otonomi terletak pada kabupaten, karena kabupaten
cukup luas untuk melaksanakan pemerintah otonomi. Provinsi bertugas
mengkoordinir kabupaten-kabupaten… Untuk penyelenggaraan pemerintah kabupaten
perlu adanya DPRD yang kira-kira mempunyai 20 orang anggota. Dan disamping itu perlu pula mempunyai
pegawai-pegawai yang cakap”
(Basri Amin, 2005: 49).
Dalam tulisan ini pula Mohammad Hatta menjelaskan hakikat
otonomi sebagai “pemerintahan sendiri” yang dasarnya adalah tanggung jawab
pemerintah kepada rakyat. Dalam hal teknis, Mohammad Hatta pun sangat concern terhadap lembaga perwakilan
rakyat, karena itu ia berpendapat lembaga perwakilan rakyat harus ada dalam
semua tingkatan, termasuk pada tingkat desa. Adapun untuk sistem pemilihan
untuk pemerintah daerah dan lembaga-lembaga perwakilan, Hatta berpendapat bahwa
“sistem pemilihan langsung” yang cocok sebab dengan begitu rakyat mengetahui
siapa yang mereka percaya dan cocok dengan aspirasi mereka (Basri Amin, 2005:
49).
Segera setelah zaman orde baru
runtuh. Tindakan pertama yang dilakukan oleh tiga pemerintahan setelah Soeharto
adalah memberi reaksi yang sangat cepat terhadap permintaan otonomi daerah,
kebebasan berpendapat, berkumpul dan pers yang lebih luas (Joni Apriyanto,
2012: 141).
Pembentukan daerah otonom baru
semakin meningkat setelah dikeluarkannya peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun
2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan
Penggabungan Daerah (Peraturan pemerintah Nomor 129 tahun 2000), (Basri Amin dkk, 2013:5).
Idealnya, pemekaran wilayah dimaksudkan untuk lebih
mengefektifkan pemerintahan dan pembangunan daerah, dengan tujuan utama lebih
mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakatnya dan meningkatkan
kesejahteraan dan partisipasi masyarakat (Basri Amin, dkk, 2013:6).
Dalam sebuah
rapat Mendagri Cahyo Kumolo mengatakan (Gorontalo Post, 20-21/02/2016):
“Ada
87 usulan daerah otonom baru (DOB), termasuk DOB dari Gorontalo yang telah
disampaikan DPR RI periode sebelumnya ke pemerintah untuk dievaluasi. Selain 87
DOB yang sudah pernah dibahas DPR, kini muncul lagi 199 daerah yang ingin
dimekarkan terdiri dari provinsi, kabupaten/kota…. Jika suatu daerah dimekarkan
maka otomatis dibutuhkan anggaran dari pusat untuk membangun daerah tersebut.
Padahal saat ini pemerintah focus pada pembangunan infrastruktur.
Sejak
tahun 1999, jumlah desa yang dimekarkan sudah dua kali lipat. Mulai dari desa
hingga kecamatan. “Jadi sekarang ini konsentrasinya ke desa, jadi belum
memungkinkan penambahan fiskal untuk daerah otonom baru.”
Menurut
Mendagri Cahyo Kumolo terdapat beberapa daerah otonom baru yang tidak meningkat
PAD-nya (Pendapatan Asli Daerah). Daerah-daerah ini rencananya akan digabung
dengan daerah sebelum dimekarkan. Sekitar 58 persen daerah otonom baru PAD-nya
tidak meningkat. Jadi mengandalkan dana transfer pusat semua. PAD tidak
meningkat otomatis pemerataan dan percepatan pembangunan tidak jalan,
lebih-lebih peningkatan kesejahteraan sosial. Padahal tujuan pemekaran ini kan
untuk meningkatkan dan mempercepat kesejahteraan masyarakat, mempercepat
pemerataan pembangunan di daerah, dan harus diawali dengan peningkatan PAD.
Jika merujuk pada bagian-bagian terdahulu dalam buku ini,
maka kami ingin mengemukakan sebuah panggilan cinta tersirat dari Pinogu untuk kita semua sebagai pribumi. Entah
sebagai pribumi Pinogu pada skala kecil, pribumi Gorontalo pada skala menengah,
dan/atau pribumi Indonesia pada skala besar/luas.
Pinogu adalah cerminan dari Gorontalo, dan Indonesia. Desa yang
termasuk dalam hitungan jumlah desa yang dimekarkan sejak tahun 1999, seperti
yang disebutkan oleh Menteri Dalam Negeri Cahyo Kumolo. Sejak dimekarkan
menjadi kecamatan pada tanggal 30 Juni 2012, Pinogu dari ujung pelosok
Gorontalo meraung memanggil para pribumi yang seolah telah sibuk dengan
urusannya masing-masing. Para pribumi yang memiliki rasa bangga yang tinggi
akan Pinogu tapi tenggelam dalam rasa bangga itu, sehingga lupa dengan segala
apa yang harus diperbuat, dipersembahkan untuk kampung halaman tercinta.
Dalam angka dijelaskan bahwa Kecamatan Pinogu memiliki
kekuatan Sumber Daya Alam (SDA) yang mumpuni. Namun di satu sisi Pinogu
memiliki kekurangan yang sama mumpuninya dari segi Sumber Daya Manusia (SDM).
Jika pun ada pribumi Pinogu yang sudah menjadi “orang”, mereka enggan kembali
ke Pinogu karena lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keilmuan mereka
nyaris tidak ada.
Untuk itu kami kembali ingin mengutip banyak, dari tulisan
seorang Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN) Basri Amin, yang kami
temukan dalam Harian Gorontalo Post. Tulisan ini kami jadikan sebagai salah
satu bahan ramuan untuk membahasakan panggilan cinta tersirat dari Pinogu.
Kutipan pertama dari tulisan
pada kolom spektrum sosial --Kota Mencari Identitas-- Senin, 22 Februari 2015.
Kota adalah ruang di mana kebohongan lebih leluasa
dirayakan. “Kebohongan tidak terletak pada kata-kata, namun di antara
benda-benda” (Calvino, 2006: 70-71).
Kota adalah sebuah
jarak dan simbol berlapis-lapis dari hasrat manusia!. “Kota-kota tidak berbeda dengan mimpi-mimpi: segala sesuatu yang dapat
dibayangkan dapat pula diimpikan, tapi mimpi yang paling tak diharapkan adalah
teka-teki yang menyembunyikan hasrat atau, kebalikannya, ketakutan-ketakutan.
Kota-kota layaknya mimpi, terbentuk oleh hasrat dan rasa takut, sekalipun
pertalian perbincangan mereka dirahasiakan, peraturan-peraturan mereka absurd,
perspektif mereka palsu, dan segala sesuatu menyembunyikan sesuatu yang lain…,”
demikian penggalan percakapan yang sangat apik antara Kublai Khan dan Marco
Polo seperti disegarkan secara klasik (2006) oleh Italo Calvino, seorang
penulis Italia terkenal.
Calvino bercerita
tentang sebuah kota bernama Chloe, sebuah kota besar. Di sini, “semua orang
yang hadir di kota adalah orang luar. Pada setiap pertemuan, mereka saling
membayangkan ribuan hal tentang lawan bicaranya; pertemuan di antara mereka
adalah pertemuan percakapan, kejutan-kejutan, sengatan-sengatan…”. Chloe adalah
‘kota alim’, menurut imajinasi Calvino. Dan, di kota ini, “apabila lelaki dan
perempuan mulai menghidupkan mimpi-mimpi mereka, hantu-hantu akan datang
menjelma menjadi manusia dan memulai cerita tentang perburuan, kepura-puraan,
kesalahpahaman, bentrokan-bentrokan, penindasan-penindasan…”.
Apa yang dihamparkan Italo Calvino
sungguh-sungguh mewartakan bagaimana spirit dan imaji perubahan dan harapan
manusia tentang kota demikian retak dari waktu ke waktu. Kota memang adalah
ruang percobaan dan perjumpaan kehidupan manusia diselenggarakan dengan
keragaman yang tinggi, tapi di kota pulalah ujian dan ukuran kemampuan
seringkali di ujung tanduk.
Kini, ketika arus pergerakan penduduk menjadikan
kota sebagai tujuan utama maka terpampang di depan mata akan membesarnya
goncangan keras di pedesaan dan benturan di perkotaan. Sektor pertanian akan kesepian tenaga kerja dan akan disubstitusi
dengan penyediaan teknologi dan barang impor, sementara ekonomi jasa di
perkotaan akan berhimpitan dengan masalah sosial, penyempitan ruang fisik,
penyediaan infrastruktur dan kapasitas pemerintahan. Pada kedua situasi pelik
itulah “pengetahuan” dan “regulasi” yang utuh makin kita butuhkan. Tantangan
pokoknya adalah apakah kita sungguh-sungguh
menggarap dengan terbuka dan efektif untuk kedua perkara serius itu. Di banyak tempat, kita masih
cenderung buru-buru dan lebih mengutamakan formalitas ketimbang mengubah cara
berpikir dan perilaku.
Sikap buru-buru itu
tercermin dari nafsu kita mengutamakan judul dan jargon ketika hendak membangun
kota. Kita mudah menghamburkan kata-kata asing yang meskipun niatnya sangat
baik agar kota-kota tampak modern dan menarik, tapi di balik tindakan dan
pemikiran kita masih tertanam kegamangan yang dalam. Sikap mengerjakan
“terobosan” masih jauh dari tindakan nyata. Kita cenderung menolak untuk
belajar secara cepat dan menyerap pengetahuan-pengetahuan perbandingan yang
benar-benar kita butuhkan.
Benturan antara
pengaturan dan pemanfaatan ruang perkotaan semakin tinggi sementara masalah
serius kian mengintai: kemacetan, banjir, gempa, kebakaran, kriminalitas, air
bersih, dst. Belum lagi soal sebaran penyakit. Sebagai akibatnya, daftar
reaksi-reaksi jangka pendek banyak mengepung pemerintah di perkotaan. Sayangnya
karena bentuk-bentuk kreatif yang berisi dan berjangka panjang masih jarang
dikedepankan. Jajaran pemerintah kita
sepertinya bosan untuk “berpikir serius” dan “membaca” seluruh progress yang
dijanjikan dan yang dicapai selama ini. Tak jarang, percakapan kita lebih
banyak isu-isu permukaan yang dangkal. Uniknya karena tabiat seperti itulah
yang banyak dirayakan. Berbagai forum
yang diadakan lebih banyak “membuang waktu” dan uang untuk show kekuasaan di
panggung seremoni.
Imajinasi kita
untuk perubahan di perkotaan yang lebih
manusiawi nyaris makin hilang ditelan nafsu untuk segera dipuji, dilihat dan
diakui. Bangunan fisik telah menelan uang milyaran tiap tahunnya
sementara agenda untuk ‘edukasi publik’
dan membangun budaya kota dan ‘warisan sosial’ dan arsitek kota kita hanya
diserahkan kepada ruang bebas di jalanan, di lorong-lorong dan di taman-taman
kota yang ‘sesak nafas’ dan ‘miskin kreasi’. Sehingga, apa yang disebut
unsur alami, ruang hijau dan ruang publik bisa jadi sekedar gincu dan topeng yang
bisa hilang dalam hitungan hari. Dalam kesadaran seperti itulah, mari kita
tatap (wajah) Gorontalo kita saat ini! Benarkah kita punya kota yang
sebenar-benarnya?***
Tulisan pertama ini dapat memiliki makna yang beragam bagi
setiap pembaca. Demikian halnya dengan kami para etnik. Kami pun membahasakan ini sebagai panggilan cinta tersirat
dari Pinogu untuk para pribumi. Bukankah setiap pribumi yang berasal dari desa
selalu berkeinginan untuk pindah ke kota karena memandang kota sebagai tempat
yang dapat memberikan harapan dalam kehidupan mereka. Padahal kota sendiri
sedang dalam pencarian identitasnya.
Masalah utama di Pinogu secara tersurat dikatakan melalui
tulisan Basri Amin tersebut tidak lain adalah akan sepinya sektor pertanian karena kurangnya tenaga kerja yang
handal, dan akan terus disubstitusi dengan penyediaan teknologi dan barang
impor. Bukankah Pinogu dalam rencana akan dijadikan sebagai kawasan
pertanian organik. Maka yang dibutuhkan Pinogu adalah pribumi yang memiliki
pemahaman yang mendalam dan mampu meneladani negara-negara maju yang memiliki
keunggulan dalam sektor pertanian, terutama pertanian organik.
Jika masalah utama adalah infrastruktur jalan, karena
terkait dengan pendistribusian hasil pertanian, maka dalam hal ini perlu
perencanaan jangka panjang. Seperti misalnya; seberapa lama waktu yang
diperlukan untuk pembangunan infra struktur jalan ke Pinogu, dalam rentang
waktu yang sama maka perlu merencanakan ketersediaan sumber daya manusia dalam
sektor pertanian. Jika Pembangunan infrastruktur jalan selama 5-6 tahun, maka
waktu tersebut cukup untuk memberikan waktu kepada pribumi pinogu untuk
menyelesaikan jenjang strata-1 di bidang pertanian.
Setidaknya hal ini dapat dijadikan sebagai solusi untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dinilai oleh Mendagri Cahyo
Kumolo kurang pada beberapa daerah otonom baru.
Terkait dengan masalah ini pula, kami mengangkat kerangka
dasar pembangunan ekonomi Indonesia yang diungkapkan Bung Hatta sejak tahun
1930 (Basri Amin, 2005:30), dan masih bisa digunakan sebagai pijakan atau
landasan yang kokoh, mengingat struktur perekonomian Indonesia pada umumnya,
dan Pinogu pada khususnya.
Karena ekonomi Indonesia bersifat agraria, maka struktur
ekonomi kita hendaklah sesuai dengan struktur agraria. Yang pokok adalah pertanian dan dikelilingi oleh
industri rakyat. Dalam pencapaian harapan ini, Hatta berpesan kepada para
ilmuan (perencana) ekonomi Negara untuk: “Menjadi
pelita menempuh hidup baru. Tidak boleh (hanya menyusulkan bukti saja dari
belakang, tetapi juga menjadi penunjuk…dan jangan sampai kekuatan asing terlalu
mendominasi”.
Selanjutnya menurut
Hatta industri merupakan “cara” untuk mencapai tingkat kemampuan umum yang
diawali dengan kemampuan produksi rakyat. Sebagaimana ia sendiri mengungkapkan
bahwa: “…wujud produksi yang sehat adalah
memuaskan keperluan rakyat dalam negeri. Pokok perekonomian adalah konsumsi
rakyat. …Jadi bukan industrialisasi yang menjadi soal pertama politik
kemakmuran rakyat, melainkan soal bagaimana menimbulkan tenaga pembeli rakyat.
Kalau industrialisasi mau berarti sebagai jalan untuk kemakmuran rakyat,
mestilah kapitalnya (modalnya) datang dari pihak rakyat atau dari pihak
pemerintah. Karena kalau kapitalnya berasal dari luar (negeri), maka tampak
produksi berpegang pada (pihak) luar…”
Kutipan kedua dari tulisan pada kolom spektrum sosial –Bahasa Status Quo dan Resiko Orang Biasa-- Senin, 22 Februari 2015.
Merancang kembali (redesign) beberapa bahasa, pola
organisasi dan bahasa sehari-hari, di sektor apa pun pekerjaan kita, tampaknya
adalah kebutuhan. Meski dunia tengah
bergerak cepat dengan sayap-sayap teknologinya, dibeberapa kesempatan saya menyaksikan bahwa para pembela status quo, kelompok oportunis dan penyembah kepentingan
pribadi, masih banyak merajalela. Bahkan, dengan sangat nyata mereka menampilkan gaya bahasa basa-basi dan
menghalangi perubahan. Sedemikian rupa, dengan penuh semangat, mereka mengolah bahasa pembelaan dan
membangun laku yang lincah agar terhindar dari desakan untuk memperjelas
pendiriannya. Kecenderungan umum diikutinya sedemikian rupa, pikiran yang
mengambang dan yang mengaburkan perbaikan disirkulasi. Semuanya dipoles dengan tafsiran (kepentingan) sesaat, dan bahkan
seringkali dibayangi dengan gertakan aturan-aturan dan otoritas yang serba “di
atas”.
Kesediaan untuk
mengambil jarak yang memadai agar kita
bisa melihat keadaan lebih jernih adalah langkah awal. Selanjutnya, percakapan
demi percakapan, pengamatan berbagai sudut tentang tabiat-tabiat (kolektif)
tertentu, cara-cara bernalar dan bentuk-bentuk penyikapan kita tentang rencana
dan kasus-kasus, akan membantu kita “memastikan” apa sebenarnya yang terjadi di
dalam diri dan sekitar kita. Disinilah letaknya kepekaan nalaar dan nurani
dibangun. Bukan semata agar tidak mudah ditipu keadaan, tapi juga agar terbantu
melihat (konsistensi) jalan-jalan perbaikan yang sering dipidatokan atau
dikampanyekan setiap harinya. Memang,
yang banyak mengepung kita adalah parade “bahasa tinggi” oleh mereka yang
merasa “penting”. Bahasa jenis ini selalu situasional: sesuai skenario dan
intrik waktu yang dirancang.
Meski informasi ada dimana-mana, demikian juga dengan “keterbukaan” yang terus didorong
oleh media dan organisasi (pemerintah dan non-pemerintah), tapi kita masih banyak menemukan distorsi atau
pengaburan, pemenggalan dan pengurangan –bahkan manipulasi—atas keadaan
yang sebenarnya tak heran kalau apa yang
sering kita labeli sebagai “data” dan tumpukan laporan dan publikasi mengenai
“nasib orang banyak”, tetaplah belum mampu memberi gambaran yang utuh.
Sehingga, apa yang mampu kita jelaskan dan sirkulasi kepada publik,
sesungguhnya barulah “sebagian” (kecil) dari fakta yang sebenarnya.
Kemampuan kita melihat
sesuatu secara utuh masih harus ditempa dengan kesungguhan. Tabiat kita adalah “menyicil” setiap upaya
menjawab permasalahan kemudian “memecahnya” ke dalam tindakan dan pikiran yang
terpisah-pisah. Bahkan dengan sengaja kita
cenderung menghindari sesuatu yang kompleks. Tapi karena system di berbagai
tingkatan belum sepenuhnya menjadi “infrastruktur yang memaksa” pada setiap
tata-kelola organisasi (kerja) di negeri ini maka hasilnya adalah masih bertahannya tabia-tabiat lama yang mencari
aman dan membela diri. Di tengah-tengah itu, kita pun masih mengalami lingkaran
“kemiskinan keteladanan”. Di banyak oraganisasi, orang-orang yang
berdedikasi dan lurus antara kata dan perbuatannya, sepertinya masih dirasakan
sebagai barang langka. Kita cukup punya pegangan dan teladan.
Orang-orang
lurus dan teguh pemikirannya jernih, sering dianggap sebagai “orang aneh”. Ia
sering dihindari dan bahkan kalau bisa dicemooh, dipukul dari belakang,
disingkirkan dan ditekan sedemikian rupa dengan tujuan agar ia cepat frustasi,
mengalah dan akhirnya dimatikan.
Dengan begitu, contoh baru tentang keburukan merubah menjadi “rujukan”: Anda
tampil biasa-biasa saja! Terbiasalah berbasa-basi! Anda harus pandai mencari
muka! Jangan berani dengan kebenaran! Ambillah kesempatan dalam kesempitan!
Tunduklah kepada kemunafikan agar Anda “selamat”!
Apa hasilnya?
Keburukan menjadi rujukan. Padahal, sudah lebih setahun Revolusi Mental dikumandangkan,
tapi masih terasa “kempes” gemanya di berbagai tingkatan. Aksi nyata entah
kemana. Orang setengah hati dan sepertinya was-was. Padahal, setiap saat
mestinya kata pamungkas Revolusi Mental perbaikan bangsa ini diupacarakan. Kata
ini juga mestinya mewarnai setiap judul kegiatan kita, bahasa pembukaan
acara-acara public, ritual rapat di kantor-kantor, kegiatan pembelajaran,
bahasa jajaran pemerintah dan semua elemen yang komit untuk perbaikan “martabat
bangsa”.
Mentalitas adalah tantangan terbesar negeri ini. Tentu tak bisa dipukul rata, tapi fakta umumnya adalah
bangsa kita belum berdaya saing. Kualitas pekerjaan kita di berbagai bidang
selalu kalah dengan bangsa-bangsa lain. Padahal,
mutu manusia Indonesia tidak kalah pada tingkat mikro dan pada segmen-segmen
tertentu. Masalahnya terletak pada tata kelola, kepemihakan, gagasan dan
nilai yang membumi, serta etos kerja yang benar-benar tertanam dalam
kerja-kerja keseharian kita. Energi bersama kita sering terbuang begitu saja
dengan sia-sia karena mentalitas jangka pendek terlalu mendikte nalar dan laku
kita. Setiap kali muncul masalah besar atau pun kesempatan besar, penyikapan
kita cenderung alakadar-nya. Bahkan tanpa semangat. Aspek pemenuhan “formalitas”
dikedepankakn; yang penting “kewajiban sudah gugur…” plus “Asal Bapak Senang
(ABS)”.
Pemimpin yang berani
di depan mendobrak kebekuan bernalar! Inilah yang mendesak dan kita amat
butuhkan. Sayang sekali karena mekanisme (kekuasaan) yang ada selama ini masih
menampilkan dominannya pola “permainan” dan pengaruh “uang”. Kebenaran
substansi dan tujuan luhur dari tata-kelola kekuasaan dan keteladanan tampaknya
makin mudah dikalahkan. Budaya “bermuka dua” makin laku di masyarakat. Demikian pula dengan kinerja pemimpin kita
sepertinya biasa-biasa saja: pemain berganti, permainan tak banyak berubah!
Atau, ritual ‘pergantian pemain’ saja yang banyak dikerjakan. Soal isi dan
kreasi, biarlah berjalan seadanya. Di lapangan lain, guncangan moral di
masyarakat belum otomatis mendorong suatu kemurkaan kolektif. Keadilan kemudian
dipertanyakan setiap saat. Dalam ketidakpastian seperti itu, saya teringat
cuplikan sebuah dialog dalam novel “pengemis”
Naguib Mahfouz (1986): “…kita tidak banyak berubah sebanyak perkembangan yang
terjadi”.
Suara dari bawah tidak
perlu diwakili sepenuhnya. Yang kita butuhkan adalah ruang yang lebih banyak
untuk saling bicara dan mendengar satu-sama lain, tanpa prasangka, tanpa klaim
pengetahuan dan pemenggalan hak-hak. Faktanya,
kita amat sering bosan dengan “suara dari bawah”. Kita mudah merasa sudah
(sangat) tahu apa yang terjadi. Kita menyikapi setiap keluhan dengan jawaban,
tanpa peduli tentang kebohongan yang berulang-ulang dilakukan. Dan tanpa peduli tentang “resiko” yang
melilit orang-orang dipinggiran. Mereka menjadi Koran karena jeritan hidup
mereka tak pernah dipahami oleh tabel-tabel statistika, demikian juga dengan
bahas mereka yang tak pernah nyaman dengan teori di buku-buku. Jika
demikian, kita membutuhkan “bahasa
bersama”, sebuah bahasa yang menempatkan semua kosa kata tidak terpisah dari
keadaan manusia, yakni tentang nasib, harapan, dan hak-hak untuk makmur, sehat,
cerdas, dan merasa keadilan.***
Tulisan yang kedua ini cenderung mengingatkan kita pada
nasib orang-orang pinggiran, sebut saja pribumi dari pelosok. Pribumi yang
benar-benar hidup membumi, tanpa memiliki pikiran-pikiran serakah untuk
mengambil dan menguasai sesuatu.
Pribumi-pribumi yang sering menjadi ujung tombak
alasan-alasan para pengambil kebijakan, terkait dengan kesejahteraan sosial.
Pribumi-pribumi yang hanya bisa mengelus dada, menghempaskan nafas panjang yang
sesak, merintih kepada Sang Khalik ketika janji-janji para birokrat tak kunjung
ditepati.
Lihatlah tulisan kami yang mendadak emosional saat
menyinggung soal pribumi. Dan memang,
kesalahan fatal semua pribumi Indonesia adalah menunggu uluran tangan dari
orang lain, atau menunggu janji para pemimpin untuk ditepati. Ini menyalahi
kodrat manusia. Sejak sebelum menjadi janin di dalam rahim ibu. Tuhan telah memberikan
gambaran tentang kemampuan yang dimiliki manusia melalui proses penciptaan
manusia dari setetes air mani.
Semenjak lepas dari indungnya, berupa setetes air mani. Satu
sel sperma yang akan berhasil mencapai
sel telur harus berjuang mati-matian, bersaing dengan milyaran sel sperma
lainnya, dan melepaskan diri dari cengkraman darah putih (leukosit) yang
bertindak sebagai imun (sistem kekebalan tubuh), bertugas mengamankan rahim
dari semua benda asing termasuk sel sperma.
Kodrat manusia itu adalah berjuang dan bersaing. Dalam ruang
yang lebih kecil, manusia harus berjuang untuk dirinya sendiri dan bersaing
dengan dirinya sendiri pula (kelemahan yang dimiliki). Dalam tatanan yang lebih
besar, perjuangan akan menjadi tidak mudah demikian juga persaingan, karena
saling berbenturan dengan perjuangan dan persaingan orang lain. Disinilah kualitas
mental seorang pribumi diuji. Untuk bisa memakmurkan negeri, maka ia harus terlebih
dahulu memakmurkan dirinya, atau dengan kata lain, seorang pribumi harus
terlebih dahulu berbuat untuk dirinya, baru bisa berbuat untuk orang lain, dan
lalu negerinya.
Dari sinilah dapat dibangun mentalitas individu-individu.
Kesadaran tentang kodrat; daya juang dan daya saing, akan banyak membantu
pribumi untuk tidak lagi berharap kepada orang lain, terutama pemerintah, dalam
pengembangan kualitas diri dan daerah. Bukankah
pemerintah juga terhalang banyak hal yang menjadi concern dalam pembangunan? Wallahu’alam
bishawab.
Baiklah, untuk melengkapi kutipan tulisan dari Basri Amin
tersebut, kami menarik satu karya sastra “Bumi Manusia” buah pena dari
sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer. Dari Novel klasik itu kami
menemukan banyak penggalan-penggalan kata bermakna dari pribumi yang
diperuntukkan untuk pribumi. Namun kami membatasi pada kata-kata yang dapat
mewakilkan panggilan cinta yang tersirat
dari Pinogu.
Pramodeya Ananta Toer --Bumi
Manusia-- (2011):
“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku
adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan” (Hal 17).
“Cinta itu indah, …, juga kebinasaan yang
mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya” (Hal 81).
“Dan apa bisa diperoleh dalam hidup ini tanpa
bea? Semua harus dibayar atau ditebus, juga sependek-pendek kebahagiaan” (Hal
100-101).
“Hidup bisa memberikan segala, pada barang
siapa yang tahu dan pandai menerima” (Hal 105).
“Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin
menghabiskan makanan orang lain. Harus mengenal batas. Itu tak terlalu sulit
dipahami. Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan
cara-Nya sendiri” (Hal 189).
Kami etnik
menyadari, bahwa kelak jika tulisan ini sampai ke tangan khalayak. Akan banyak kemungkinan
ragam pemaknaan pada tulisan ini. Apapun bentuk pemaknaan itu, semoga dapat
dijadikan sebagai bentuk motivasi untuk berinovasi secara individu dan kolektif.
Mengingat Tuhan sendiri yang menekankan bahwa: “Tidak akan Aku rubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang
merubahnya”.
Demikian
akhir tulisan dari bagian ini, semoga panggilan cinta tersirat dari Pinogu
sampai ke “telinga nurani” pribumi Pinogu, Gorontalo, dan Indonesia.{}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar