Sabtu, 13 Agustus 2016

PERJALANAN ETNIK (WE are D'ETNIC) KE PINOGU BAGIAN 4.

PANGGILAN CINTA TERSIRAT DARI PINOGU UNTUK GORONTALO, 
 UNTUK INDONESIA



 Menjadi negara yang maju merupakan cita-cita Bangsa Indonesia. Karena itu pembangunan di berbagai sektor gencar dilaksanakan. Pada masa ini pembangunan lebih dititikberatkan pada perbaikan infrastruktur. Untuk mempermudah kinerja pemerintah pusat, maka otonomi adalah jawaban yang dituju.
Isu tentang otonomi telah ada sejak lima tahun pasca Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, yakni tahun 1950. Dalam sebuah pidato tertanggal 22 November 1950 berjudul: “Otonomi janganlah menjadi beban pemerintah pusat” Mohammad Hatta menguraikan:
Pusat otonomi terletak pada kabupaten, karena kabupaten cukup luas untuk melaksanakan pemerintah otonomi. Provinsi bertugas mengkoordinir kabupaten-kabupaten… Untuk penyelenggaraan pemerintah kabupaten perlu adanya DPRD yang kira-kira mempunyai 20 orang anggota. Dan disamping itu perlu pula mempunyai pegawai-pegawai yang cakap (Basri Amin, 2005: 49).
Dalam tulisan ini pula Mohammad Hatta menjelaskan hakikat otonomi sebagai “pemerintahan sendiri” yang dasarnya adalah tanggung jawab pemerintah kepada rakyat. Dalam hal teknis, Mohammad Hatta pun sangat concern terhadap lembaga perwakilan rakyat, karena itu ia berpendapat lembaga perwakilan rakyat harus ada dalam semua tingkatan, termasuk pada tingkat desa. Adapun untuk sistem pemilihan untuk pemerintah daerah dan lembaga-lembaga perwakilan, Hatta berpendapat bahwa “sistem pemilihan langsung” yang cocok sebab dengan begitu rakyat mengetahui siapa yang mereka percaya dan cocok dengan aspirasi mereka (Basri Amin, 2005: 49).
Segera setelah zaman orde baru runtuh. Tindakan pertama yang dilakukan oleh tiga pemerintahan setelah Soeharto adalah memberi reaksi yang sangat cepat terhadap permintaan otonomi daerah, kebebasan berpendapat, berkumpul dan pers yang lebih luas (Joni Apriyanto, 2012: 141).
Pembentukan daerah otonom baru semakin meningkat setelah dikeluarkannya peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah (Peraturan pemerintah Nomor 129 tahun 2000), (Basri Amin dkk, 2013:5).
Idealnya, pemekaran wilayah dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan pemerintahan dan pembangunan daerah, dengan tujuan utama lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakatnya dan meningkatkan kesejahteraan dan partisipasi masyarakat (Basri Amin, dkk, 2013:6).
Dalam sebuah rapat Mendagri Cahyo Kumolo mengatakan (Gorontalo Post, 20-21/02/2016):
“Ada 87 usulan daerah otonom baru (DOB), termasuk DOB dari Gorontalo yang telah disampaikan DPR RI periode sebelumnya ke pemerintah untuk dievaluasi. Selain 87 DOB yang sudah pernah dibahas DPR, kini muncul lagi 199 daerah yang ingin dimekarkan terdiri dari provinsi, kabupaten/kota…. Jika suatu daerah dimekarkan maka otomatis dibutuhkan anggaran dari pusat untuk membangun daerah tersebut. Padahal saat ini pemerintah focus pada pembangunan infrastruktur.
Sejak tahun 1999, jumlah desa yang dimekarkan sudah dua kali lipat. Mulai dari desa hingga kecamatan. “Jadi sekarang ini konsentrasinya ke desa, jadi belum memungkinkan penambahan fiskal untuk daerah otonom baru.”
Menurut Mendagri Cahyo Kumolo terdapat beberapa daerah otonom baru yang tidak meningkat PAD-nya (Pendapatan Asli Daerah). Daerah-daerah ini rencananya akan digabung dengan daerah sebelum dimekarkan. Sekitar 58 persen daerah otonom baru PAD-nya tidak meningkat. Jadi mengandalkan dana transfer pusat semua. PAD tidak meningkat otomatis pemerataan dan percepatan pembangunan tidak jalan, lebih-lebih peningkatan kesejahteraan sosial. Padahal tujuan pemekaran ini kan untuk meningkatkan dan mempercepat kesejahteraan masyarakat, mempercepat pemerataan pembangunan di daerah, dan harus diawali dengan peningkatan PAD.
Jika merujuk pada bagian-bagian terdahulu dalam buku ini, maka kami ingin mengemukakan sebuah panggilan cinta tersirat dari Pinogu untuk kita semua sebagai pribumi. Entah sebagai pribumi Pinogu pada skala kecil, pribumi Gorontalo pada skala menengah, dan/atau pribumi Indonesia pada skala besar/luas.
Pinogu adalah cerminan dari Gorontalo, dan Indonesia. Desa yang termasuk dalam hitungan jumlah desa yang dimekarkan sejak tahun 1999, seperti yang disebutkan oleh Menteri Dalam Negeri Cahyo Kumolo. Sejak dimekarkan menjadi kecamatan pada tanggal 30 Juni 2012, Pinogu dari ujung pelosok Gorontalo meraung memanggil para pribumi yang seolah telah sibuk dengan urusannya masing-masing. Para pribumi yang memiliki rasa bangga yang tinggi akan Pinogu tapi tenggelam dalam rasa bangga itu, sehingga lupa dengan segala apa yang harus diperbuat, dipersembahkan untuk kampung halaman tercinta.
Dalam angka dijelaskan bahwa Kecamatan Pinogu memiliki kekuatan Sumber Daya Alam (SDA) yang mumpuni. Namun di satu sisi Pinogu memiliki kekurangan yang sama mumpuninya dari segi Sumber Daya Manusia (SDM). Jika pun ada pribumi Pinogu yang sudah menjadi “orang”, mereka enggan kembali ke Pinogu karena lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keilmuan mereka nyaris tidak ada.  
Untuk itu kami kembali ingin mengutip banyak, dari tulisan seorang Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN) Basri Amin, yang kami temukan dalam Harian Gorontalo Post. Tulisan ini kami jadikan sebagai salah satu bahan ramuan untuk membahasakan panggilan cinta tersirat dari Pinogu.



Kutipan pertama dari tulisan pada kolom spektrum sosial --Kota Mencari Identitas-- Senin, 22 Februari 2015.
Kota adalah ruang di mana kebohongan lebih leluasa dirayakan. “Kebohongan tidak terletak pada kata-kata, namun di antara benda-benda” (Calvino, 2006: 70-71).
Kota adalah sebuah jarak dan simbol berlapis-lapis dari hasrat manusia!. “Kota-kota tidak berbeda dengan mimpi-mimpi: segala sesuatu yang dapat dibayangkan dapat pula diimpikan, tapi mimpi yang paling tak diharapkan adalah teka-teki yang menyembunyikan hasrat atau, kebalikannya, ketakutan-ketakutan. Kota-kota layaknya mimpi, terbentuk oleh hasrat dan rasa takut, sekalipun pertalian perbincangan mereka dirahasiakan, peraturan-peraturan mereka absurd, perspektif mereka palsu, dan segala sesuatu menyembunyikan sesuatu yang lain…,” demikian penggalan percakapan yang sangat apik antara Kublai Khan dan Marco Polo seperti disegarkan secara klasik (2006) oleh Italo Calvino, seorang penulis Italia terkenal.
Calvino bercerita tentang sebuah kota bernama Chloe, sebuah kota besar. Di sini, “semua orang yang hadir di kota adalah orang luar. Pada setiap pertemuan, mereka saling membayangkan ribuan hal tentang lawan bicaranya; pertemuan di antara mereka adalah pertemuan percakapan, kejutan-kejutan, sengatan-sengatan…”. Chloe adalah ‘kota alim’, menurut imajinasi Calvino. Dan, di kota ini, “apabila lelaki dan perempuan mulai menghidupkan mimpi-mimpi mereka, hantu-hantu akan datang menjelma menjadi manusia dan memulai cerita tentang perburuan, kepura-puraan, kesalahpahaman, bentrokan-bentrokan, penindasan-penindasan…”.
 Apa yang dihamparkan Italo Calvino sungguh-sungguh mewartakan bagaimana spirit dan imaji perubahan dan harapan manusia tentang kota demikian retak dari waktu ke waktu. Kota memang adalah ruang percobaan dan perjumpaan kehidupan manusia diselenggarakan dengan keragaman yang tinggi, tapi di kota pulalah ujian dan ukuran kemampuan seringkali di ujung tanduk.
Kini, ketika arus pergerakan penduduk menjadikan kota sebagai tujuan utama maka terpampang di depan mata akan membesarnya goncangan keras di pedesaan dan benturan di perkotaan. Sektor pertanian akan kesepian tenaga kerja dan akan disubstitusi dengan penyediaan teknologi dan barang impor, sementara ekonomi jasa di perkotaan akan berhimpitan dengan masalah sosial, penyempitan ruang fisik, penyediaan infrastruktur dan kapasitas pemerintahan. Pada kedua situasi pelik itulah “pengetahuan” dan “regulasi” yang utuh makin kita butuhkan. Tantangan pokoknya adalah apakah kita sungguh-sungguh menggarap dengan terbuka dan efektif untuk kedua perkara serius itu. Di banyak tempat, kita masih cenderung buru-buru dan lebih mengutamakan formalitas ketimbang mengubah cara berpikir dan perilaku.
Sikap buru-buru itu tercermin dari nafsu kita mengutamakan judul dan jargon ketika hendak membangun kota. Kita mudah menghamburkan kata-kata asing yang meskipun niatnya sangat baik agar kota-kota tampak modern dan menarik, tapi di balik tindakan dan pemikiran kita masih tertanam kegamangan yang dalam. Sikap mengerjakan “terobosan” masih jauh dari tindakan nyata. Kita cenderung menolak untuk belajar secara cepat dan menyerap pengetahuan-pengetahuan perbandingan yang benar-benar kita butuhkan.
Benturan antara pengaturan dan pemanfaatan ruang perkotaan semakin tinggi sementara masalah serius kian mengintai: kemacetan, banjir, gempa, kebakaran, kriminalitas, air bersih, dst. Belum lagi soal sebaran penyakit. Sebagai akibatnya, daftar reaksi-reaksi jangka pendek banyak mengepung pemerintah di perkotaan. Sayangnya karena bentuk-bentuk kreatif yang berisi dan berjangka panjang masih jarang dikedepankan. Jajaran pemerintah kita sepertinya bosan untuk “berpikir serius” dan “membaca” seluruh progress yang dijanjikan dan yang dicapai selama ini. Tak jarang, percakapan kita lebih banyak isu-isu permukaan yang dangkal. Uniknya karena tabiat seperti itulah yang banyak dirayakan. Berbagai forum yang diadakan lebih banyak “membuang waktu” dan uang untuk show kekuasaan di panggung seremoni.
Imajinasi kita untuk perubahan di perkotaan yang lebih manusiawi nyaris makin hilang ditelan nafsu untuk segera dipuji, dilihat dan diakui. Bangunan fisik telah menelan uang milyaran tiap tahunnya sementara agenda untuk ‘edukasi  publik’ dan membangun budaya kota dan ‘warisan sosial’ dan arsitek kota kita hanya diserahkan kepada ruang bebas di jalanan, di lorong-lorong dan di taman-taman kota yang ‘sesak nafas’ dan ‘miskin kreasi’. Sehingga, apa yang disebut unsur alami, ruang hijau dan ruang publik bisa jadi sekedar gincu dan topeng yang bisa hilang dalam hitungan hari. Dalam kesadaran seperti itulah, mari kita tatap (wajah) Gorontalo kita saat ini! Benarkah kita punya kota yang sebenar-benarnya?***

Tulisan pertama ini dapat memiliki makna yang beragam bagi setiap pembaca. Demikian halnya dengan kami para etnik. Kami pun membahasakan ini sebagai panggilan cinta tersirat dari Pinogu untuk para pribumi. Bukankah setiap pribumi yang berasal dari desa selalu berkeinginan untuk pindah ke kota karena memandang kota sebagai tempat yang dapat memberikan harapan dalam kehidupan mereka. Padahal kota sendiri sedang dalam pencarian identitasnya.
Masalah utama di Pinogu secara tersurat dikatakan melalui tulisan Basri Amin tersebut tidak lain adalah akan sepinya sektor pertanian karena kurangnya tenaga kerja yang handal, dan akan terus disubstitusi dengan penyediaan teknologi dan barang impor. Bukankah Pinogu dalam rencana akan dijadikan sebagai kawasan pertanian organik. Maka yang dibutuhkan Pinogu adalah pribumi yang memiliki pemahaman yang mendalam dan mampu meneladani negara-negara maju yang memiliki keunggulan dalam sektor pertanian, terutama pertanian organik.
Jika masalah utama adalah infrastruktur jalan, karena terkait dengan pendistribusian hasil pertanian, maka dalam hal ini perlu perencanaan jangka panjang. Seperti misalnya; seberapa lama waktu yang diperlukan untuk pembangunan infra struktur jalan ke Pinogu, dalam rentang waktu yang sama maka perlu merencanakan ketersediaan sumber daya manusia dalam sektor pertanian. Jika Pembangunan infrastruktur jalan selama 5-6 tahun, maka waktu tersebut cukup untuk memberikan waktu kepada pribumi pinogu untuk menyelesaikan jenjang strata-1 di bidang pertanian.
Setidaknya hal ini dapat dijadikan sebagai solusi untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dinilai oleh Mendagri Cahyo Kumolo kurang pada beberapa daerah otonom baru.
Terkait dengan masalah ini pula, kami mengangkat kerangka dasar pembangunan ekonomi Indonesia yang diungkapkan Bung Hatta sejak tahun 1930 (Basri Amin, 2005:30), dan masih bisa digunakan sebagai pijakan atau landasan yang kokoh, mengingat struktur perekonomian Indonesia pada umumnya, dan Pinogu pada khususnya.
Karena ekonomi Indonesia bersifat agraria, maka struktur ekonomi kita hendaklah sesuai dengan struktur agraria. Yang pokok  adalah pertanian dan dikelilingi oleh industri rakyat. Dalam pencapaian harapan ini, Hatta berpesan kepada para ilmuan (perencana) ekonomi Negara untuk: “Menjadi pelita menempuh hidup baru. Tidak boleh (hanya menyusulkan bukti saja dari belakang, tetapi juga menjadi penunjuk…dan jangan sampai kekuatan asing terlalu mendominasi”.
 Selanjutnya menurut Hatta industri merupakan “cara” untuk mencapai tingkat kemampuan umum yang diawali dengan kemampuan produksi rakyat. Sebagaimana ia sendiri mengungkapkan bahwa: “…wujud produksi yang sehat adalah memuaskan keperluan rakyat dalam negeri. Pokok perekonomian adalah konsumsi rakyat. …Jadi bukan industrialisasi yang menjadi soal pertama politik kemakmuran rakyat, melainkan soal bagaimana menimbulkan tenaga pembeli rakyat. Kalau industrialisasi mau berarti sebagai jalan untuk kemakmuran rakyat, mestilah kapitalnya (modalnya) datang dari pihak rakyat atau dari pihak pemerintah. Karena kalau kapitalnya berasal dari luar (negeri), maka tampak produksi berpegang pada (pihak) luar…”

Kutipan kedua dari tulisan pada kolom spektrum sosial –Bahasa Status Quo dan Resiko Orang Biasa-- Senin, 22 Februari 2015.
Merancang kembali (redesign) beberapa bahasa, pola organisasi dan bahasa sehari-hari, di sektor apa pun pekerjaan kita, tampaknya adalah kebutuhan. Meski dunia tengah bergerak cepat dengan sayap-sayap teknologinya, dibeberapa kesempatan saya menyaksikan bahwa para pembela status quo, kelompok oportunis dan penyembah kepentingan pribadi, masih banyak merajalela. Bahkan, dengan sangat nyata mereka menampilkan gaya bahasa basa-basi dan menghalangi perubahan. Sedemikian rupa, dengan penuh semangat, mereka mengolah bahasa pembelaan dan membangun laku yang lincah agar terhindar dari desakan untuk memperjelas pendiriannya. Kecenderungan umum diikutinya sedemikian rupa, pikiran yang mengambang dan yang mengaburkan perbaikan disirkulasi. Semuanya dipoles dengan tafsiran (kepentingan) sesaat, dan bahkan seringkali dibayangi dengan gertakan aturan-aturan dan otoritas yang serba “di atas”.
Kesediaan untuk mengambil  jarak yang memadai agar kita bisa melihat keadaan lebih jernih adalah langkah awal. Selanjutnya, percakapan demi percakapan, pengamatan berbagai sudut tentang tabiat-tabiat (kolektif) tertentu, cara-cara bernalar dan bentuk-bentuk penyikapan kita tentang rencana dan kasus-kasus, akan membantu kita “memastikan” apa sebenarnya yang terjadi di dalam diri dan sekitar kita. Disinilah letaknya kepekaan nalaar dan nurani dibangun. Bukan semata agar tidak mudah ditipu keadaan, tapi juga agar terbantu melihat (konsistensi) jalan-jalan perbaikan yang sering dipidatokan atau dikampanyekan setiap harinya. Memang, yang banyak mengepung kita adalah parade “bahasa tinggi” oleh mereka yang merasa “penting”. Bahasa jenis ini selalu situasional: sesuai skenario dan intrik waktu yang dirancang.
Meski informasi ada dimana-mana, demikian juga dengan “keterbukaan” yang terus didorong oleh media dan organisasi (pemerintah dan non-pemerintah), tapi kita masih banyak menemukan distorsi atau pengaburan, pemenggalan dan pengurangan –bahkan manipulasi—atas keadaan yang sebenarnya tak heran kalau apa yang sering kita labeli sebagai “data” dan tumpukan laporan dan publikasi mengenai “nasib orang banyak”, tetaplah belum mampu memberi gambaran yang utuh. Sehingga, apa yang mampu kita jelaskan dan sirkulasi kepada publik, sesungguhnya barulah “sebagian” (kecil) dari fakta yang sebenarnya.
Kemampuan kita melihat sesuatu secara utuh masih harus ditempa dengan kesungguhan. Tabiat kita adalah “menyicil” setiap upaya menjawab permasalahan kemudian “memecahnya” ke dalam tindakan dan pikiran yang terpisah-pisah. Bahkan dengan sengaja kita cenderung menghindari sesuatu yang kompleks. Tapi karena system di berbagai tingkatan belum sepenuhnya menjadi “infrastruktur yang memaksa” pada setiap tata-kelola organisasi (kerja) di negeri ini maka hasilnya adalah masih bertahannya tabia-tabiat lama yang mencari aman dan membela diri. Di tengah-tengah itu, kita pun masih mengalami lingkaran “kemiskinan keteladanan”. Di banyak oraganisasi, orang-orang yang berdedikasi dan lurus antara kata dan perbuatannya, sepertinya masih dirasakan sebagai barang langka. Kita cukup punya pegangan dan teladan.
Orang-orang lurus dan teguh pemikirannya jernih, sering dianggap sebagai “orang aneh”. Ia sering dihindari dan bahkan kalau bisa dicemooh, dipukul dari belakang, disingkirkan dan ditekan sedemikian rupa dengan tujuan agar ia cepat frustasi, mengalah dan akhirnya dimatikan. Dengan begitu, contoh baru tentang keburukan merubah menjadi “rujukan”: Anda tampil biasa-biasa saja! Terbiasalah berbasa-basi! Anda harus pandai mencari muka! Jangan berani dengan kebenaran! Ambillah kesempatan dalam kesempitan! Tunduklah kepada kemunafikan agar Anda “selamat”!
Apa hasilnya? Keburukan menjadi rujukan. Padahal, sudah lebih setahun Revolusi Mental dikumandangkan, tapi masih terasa “kempes” gemanya di berbagai tingkatan. Aksi nyata entah kemana. Orang setengah hati dan sepertinya was-was. Padahal, setiap saat mestinya kata pamungkas Revolusi Mental perbaikan bangsa ini diupacarakan. Kata ini juga mestinya mewarnai setiap judul kegiatan kita, bahasa pembukaan acara-acara public, ritual rapat di kantor-kantor, kegiatan pembelajaran, bahasa jajaran pemerintah dan semua elemen yang komit untuk perbaikan “martabat bangsa”.
Mentalitas adalah tantangan terbesar negeri ini. Tentu tak bisa dipukul rata, tapi fakta umumnya adalah bangsa kita belum berdaya saing. Kualitas pekerjaan kita di berbagai bidang selalu kalah dengan bangsa-bangsa lain. Padahal, mutu manusia Indonesia tidak kalah pada tingkat mikro dan pada segmen-segmen tertentu. Masalahnya terletak pada tata kelola, kepemihakan, gagasan dan nilai yang membumi, serta etos kerja yang benar-benar tertanam dalam kerja-kerja keseharian kita. Energi bersama kita sering terbuang begitu saja dengan sia-sia karena mentalitas jangka pendek terlalu mendikte nalar dan laku kita. Setiap kali muncul masalah besar atau pun kesempatan besar, penyikapan kita cenderung alakadar-nya. Bahkan tanpa semangat. Aspek pemenuhan “formalitas” dikedepankakn; yang penting “kewajiban sudah gugur…” plus “Asal Bapak Senang (ABS)”.
Pemimpin yang berani di depan mendobrak kebekuan bernalar! Inilah yang mendesak dan kita amat butuhkan. Sayang sekali karena mekanisme (kekuasaan) yang ada selama ini masih menampilkan dominannya pola “permainan” dan pengaruh “uang”. Kebenaran substansi dan tujuan luhur dari tata-kelola kekuasaan dan keteladanan tampaknya makin mudah dikalahkan. Budaya “bermuka dua” makin laku di masyarakat. Demikian pula dengan kinerja pemimpin kita sepertinya biasa-biasa saja: pemain berganti, permainan tak banyak berubah! Atau, ritual ‘pergantian pemain’ saja yang banyak dikerjakan. Soal isi dan kreasi, biarlah berjalan seadanya. Di lapangan lain, guncangan moral di masyarakat belum otomatis mendorong suatu kemurkaan kolektif. Keadilan kemudian dipertanyakan setiap saat. Dalam ketidakpastian seperti itu, saya teringat cuplikan sebuah dialog dalam novel “pengemis” Naguib Mahfouz (1986): “…kita tidak banyak berubah sebanyak perkembangan yang terjadi”.
Suara dari bawah tidak perlu diwakili sepenuhnya. Yang kita butuhkan adalah ruang yang lebih banyak untuk saling bicara dan mendengar satu-sama lain, tanpa prasangka, tanpa klaim pengetahuan dan pemenggalan hak-hak. Faktanya, kita amat sering bosan dengan “suara dari bawah”. Kita mudah merasa sudah (sangat) tahu apa yang terjadi. Kita menyikapi setiap keluhan dengan jawaban, tanpa peduli tentang kebohongan yang berulang-ulang dilakukan.  Dan tanpa peduli tentang “resiko” yang melilit orang-orang dipinggiran. Mereka menjadi Koran karena jeritan hidup mereka tak pernah dipahami oleh tabel-tabel statistika, demikian juga dengan bahas mereka yang tak pernah nyaman dengan teori di buku-buku. Jika demikian, kita membutuhkan “bahasa bersama”, sebuah bahasa yang menempatkan semua kosa kata tidak terpisah dari keadaan manusia, yakni tentang nasib, harapan, dan hak-hak untuk makmur, sehat, cerdas, dan merasa keadilan.***

Tulisan yang kedua ini cenderung mengingatkan kita pada nasib orang-orang pinggiran, sebut saja pribumi dari pelosok. Pribumi yang benar-benar hidup membumi, tanpa memiliki pikiran-pikiran serakah untuk mengambil dan menguasai sesuatu.
Pribumi-pribumi yang sering menjadi ujung tombak alasan-alasan para pengambil kebijakan, terkait dengan kesejahteraan sosial. Pribumi-pribumi yang hanya bisa mengelus dada, menghempaskan nafas panjang yang sesak, merintih kepada Sang Khalik ketika janji-janji para birokrat tak kunjung ditepati.
Lihatlah tulisan kami yang mendadak emosional saat menyinggung soal pribumi. Dan memang, kesalahan fatal semua pribumi Indonesia adalah menunggu uluran tangan dari orang lain, atau menunggu janji para pemimpin untuk ditepati. Ini menyalahi kodrat manusia. Sejak sebelum menjadi janin di dalam rahim ibu. Tuhan telah memberikan gambaran tentang kemampuan yang dimiliki manusia melalui proses penciptaan manusia dari setetes air mani.
Semenjak lepas dari indungnya, berupa setetes air mani. Satu sel sperma yang  akan berhasil mencapai sel telur harus berjuang mati-matian, bersaing dengan milyaran sel sperma lainnya, dan melepaskan diri dari cengkraman darah putih (leukosit) yang bertindak sebagai imun (sistem kekebalan tubuh), bertugas mengamankan rahim dari semua benda asing termasuk sel sperma.
Kodrat manusia itu adalah berjuang dan bersaing. Dalam ruang yang lebih kecil, manusia harus berjuang untuk dirinya sendiri dan bersaing dengan dirinya sendiri pula (kelemahan yang dimiliki). Dalam tatanan yang lebih besar, perjuangan akan menjadi tidak mudah demikian juga persaingan, karena saling berbenturan dengan perjuangan dan persaingan orang lain. Disinilah kualitas mental seorang pribumi diuji. Untuk bisa memakmurkan negeri, maka ia harus terlebih dahulu memakmurkan dirinya, atau dengan kata lain, seorang pribumi harus terlebih dahulu berbuat untuk dirinya, baru bisa berbuat untuk orang lain, dan lalu negerinya.
Dari sinilah dapat dibangun mentalitas individu-individu. Kesadaran tentang kodrat; daya juang dan daya saing, akan banyak membantu pribumi untuk tidak lagi berharap kepada orang lain, terutama pemerintah, dalam pengembangan kualitas diri dan daerah.  Bukankah pemerintah juga terhalang banyak hal yang menjadi concern dalam pembangunan? Wallahu’alam bishawab.
Baiklah, untuk melengkapi kutipan tulisan dari Basri Amin tersebut, kami menarik satu karya sastra “Bumi Manusia” buah pena dari sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer. Dari Novel klasik itu kami menemukan banyak penggalan-penggalan kata bermakna dari pribumi yang diperuntukkan untuk pribumi. Namun kami membatasi pada kata-kata yang dapat mewakilkan panggilan cinta yang tersirat dari Pinogu.

Pramodeya Ananta Toer --Bumi Manusia-- (2011):
 “Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan” (Hal 17).
 “Cinta itu indah, …, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya” (Hal 81).
 “Dan apa bisa diperoleh dalam hidup ini tanpa bea? Semua harus dibayar atau ditebus, juga sependek-pendek kebahagiaan” (Hal 100-101).
 “Hidup bisa memberikan segala, pada barang siapa yang tahu dan pandai menerima” (Hal 105).
 “Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus mengenal batas. Itu tak terlalu sulit dipahami. Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan cara-Nya sendiri” (Hal 189).

Kami etnik menyadari, bahwa kelak jika tulisan ini sampai ke tangan khalayak. Akan banyak kemungkinan ragam pemaknaan pada tulisan ini. Apapun bentuk pemaknaan itu, semoga dapat dijadikan sebagai bentuk motivasi untuk berinovasi secara individu dan kolektif. Mengingat Tuhan sendiri yang menekankan bahwa: “Tidak akan Aku rubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya”.
Demikian akhir tulisan dari bagian ini, semoga panggilan cinta tersirat dari Pinogu sampai ke “telinga nurani” pribumi Pinogu, Gorontalo, dan Indonesia.{}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AKU, RUMAH BERANTAKAN, CENDOL, ISRAEL, PALESTINA (Bagian 2)

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Semoga kalian semua selamat serta beroleh rahmat dan berkah d...