“Anak Bangsa itu adalah SAYA”
Dari Yang Kucinta:
~
Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari
keridhaan-Ku (Sapi Betina~207).
~ Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu
tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu,
padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu
tidak baik bagimu. Aku mengetahui, sedang kamu tidak (Sapi Betina~216).
Daftar Isi
Kenalkan, Saya Mirda
Prinsip Hidup Saya yang
Bikin Mumet Banyak Orang “Maunya
Melayani, Bukannya Dilayani
Saat Yang Kucinta
Mempermainkan Hatiku
Kunci Hidup Saya Yang
Ketiga: Janji dan Ikrar Kempo (Gassho!
Rey!)
Instrumen Sertifikasi
Dosen Deskripsi Diri
Sumber Bacaan
Pengantar
Su’uzon
(Berprasangka buruk) adalah sifat yang berusaha untuk dihindari anak bangsa,
tapi sulitnya luar biasa. Alah bisa karna
biasa. Pepatah lama ini seolah mengingatkan saya bahwa kebiasaan itu bisa
mendarah-daging. Seperti kegemukan, saat seorang ibu hamil membiasakan dirinya
makan melewati ambang batas rasa kenyang, tanpa ia sadari ia mewariskan gen
kegemukan pada anaknya. Sebenarnya yang diwariskan bukan kegemukan yang
sebenar-benarnya, tapi kebiasaan makan melewati ambang batas rasa kenyang-nya.
Hidup adalah pilihan, begitu pula kegemukan. Banyak yang bilang kegemukan itu
gen, namun sedikit yang bisa menjelaskan pada orang awam seperti saya,
bagaimana caranya gen itu membawa kegemukan pada seorang anak. Saya tergolong
orang yang cenderung banyak bertanya, selalu menanti jawaban, dan sering
bersu’uzon jika jawaban itu tak kunjung diberi. Dulu! Itu kebiasaan jadul, dan saya sudah ber-’jalan’ jauh
untuk meninggalkannya. Karena menanti jawaban bukanlah solusi tepat, untuk
membungkam mulut saya dari su’uzon, saya harus mencari jawaban atas semua
pertanyaan yang saya ajukan, sendiri, tidak boleh berharap dari orang lain.
Karena orang lain sudah cukup sibuk dengan urusannya sendiri.
Tujuan
saya menulis buku ini, hanya saya sendiri yang tahu, dan saya tidak akan
menguraikannya dalam pengantar ini. Anda sudah cukup sibuk untuk mencoba
memahami hidup, jadi, singkatnya, jika buku ini bermanfaat bagi anda, tujuan
saya tercapai.
Ehem, apapun
ekspresi wajah anda, sudah saya petakan dalam ‘ruang’ kendali saraf saya.
Jujur, saya sedang tersenyum saat menuliskan kalimat ini. ‘Ruang’ kendali saraf
saya ini TOP BGT, tapi terkadang suka
eror, sehingga sewaktu-waktu butuh di-restart.
Cara me-restart-nya? Hanya saya yang
tahu.
Warning:
isi buku ini benar-benar ngelantur, seperti
yang punya pena. Jika anda tidak punya kebiasaan ngelantur, sebaiknya tidak memegang, APALAGI membaca isi buku ini. Ngelantur bagaimana? Hanya saya juga
yang tahu.
Intinya,
setiap guratan yang hadir dalam buku ini, semuanya memiliki arti, dari halaman
terdepan, hingga halaman terakhir (Iya, iya, saya tahu, depan lawan-katanya
belakang, akhir lawan-katanya awal, tapi yang punya ujung penanya kan, saya!
Mohon bersabar diri dan tidak su’uzon, ya?). Karena hanya orang-orang ‘tersirat’
yang bisa memahami setiap guratan yang hadir disini.
Selamat
membaca, semoga bermanfaat. Oh ya, lupa: Setiap kalimat yang ada dibuku ini
adalah kutipan, dari diri sendiri dan dari yang lain. Jika ada kesamaan, ya
namanya kutipan pasti sama. Saya adalah anak bangsa, anda juga.
~Kenalkan, Saya Mirda!~
Saya, Mirda. Lengkapnya
Mirdayani Pauweni. Lahir di Gorontalo,
pada tanggal 3 Mei pada Tahun 1984. Saya menulis buku ini pada tanggal 1 Mei
2014. Berarti lusa adalah hari untuk mengenang sejarah hidup 30 tahun usia pemberian
Yang Kucinta. Yang Kucinta ini, Dia segalanya buat saya. Bagaimana tidak? Sekian
tahun Dia mencintai saya dengan ke–Maha Ikhlas-an-Nya, ke–Maha Pemurah–an-Nya,
ke–Maha Penyayang–an-Nya, ke–Maha Bijaksana–an-Nya, sekalipun saya berulang
kali mengkhianati Cinta–Nya, dengan ingkar pada semua nikmat, anugerah, garis
takdir/ketetapan-Nya (baca: Qadar).
Yang Kucinta tetap kukuh pada cinta abadi-Nya, kepada saya. Jadi saya putuskan,
cukup 30 Tahun untuk saya ‘bersenang–senang’, dengan pujian dan hingar–bingar
dunia. Sekarang sisa umur ini saya persembahkan untuk Yang Kucinta. Syukur
pada-Nya, Dia menerima ‘lamaran’ yang saya ajukan. Tapi, hmmm, hingga saat ini, Yang Kucinta terus mengingatkan saya. Begini
kata–Nya :
1)
Maaf,
tapi Aku tidak akan membiarkan kamu, GOMBAL, Mirda! Aku senantiasa akan terus
MENGUJI Cintamu.
2)
Semua
yang ingin mencintai–Ku hidupnya, pasti Sengsara, Mirda! Karena harus
meninggalkan ‘dunia’ dan isinya.
3)
Jalan
yang akan kamu tempuh itu, Mirda! Akan penuh dengan cercaan, hinaan, cacian,
makian.
Saya selalu ‘Menganggukan’
hati untuk menjawab–Nya :
1)
Baik,
Yang Kucinta. Jika demikian adanya. Berarti lamaran saya, Kamu terima.
2)
Toh, pada akhirnya. Mau
tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, saya HARUS meninggalkan dunia
serta isinya.
3)
Cercaan,
hinaan, cacian, makian itu kan, datang dari sesama manusia. Selama mereka bernafasnya
pakai oksigen, SIAPA–Pun itu!? Mereka tetap manusia. Mereka akan mati, dan
sama–sama akan mempertanggung-jawabkan segala sesuatunya Kepada–Mu kan?? Jadi
Yang Kucinta, ajari saya tentang Kesabaran dan Keikhlasan. Itu saja, Yang
Kucinta.
Hehehe, hingga saat ini saya asyik menggombali Yang Kucinta, dan
Dia asyik ‘mempermainkan’ hati saya. Hmmh,
Dia sangat ‘menggemaskan’. Hingga tak pantas rasanya, jika saya mengabaikan
Cinta-Nya seperti dulu. Hahay, cintaku
berlabuh di samudera-Nya. Manusia? Lewat, lewat deh!!! Hehehe, oh ya lanjut!
Saya dulu bekerja di
salah satu Universitas Negeri yang ada di Gorontalo. Tapi saya sudah berhenti
bekerja. Saya beralih Profesi menjadi ‘abdi dalem’ di Universitas tersebut.
Kalau dulu selalu tentang saya. Sekarang adalah tentang mereka. Kalau dulu saya
ingin ‘DILAYANI’, sekarang saya ingin ‘MELAYANI’. Ojo saru–saru, Nggeh,
Pikirannya? Lah, konco–koncoku ki, nek ngomongin soal dilayani dan melayani, pikiran’e ngambang, sakarep–karepnya dewek.
Beh, jan, jan!!! Mangkel, bawaanya, ik!!!
Hahaha, tidak perlu heran, saya bisa sedikit mengerti dengan Boso Jowo, sekalipun boso’ne hancur, mboten kromo, tapi bisa. Saya kuliah dua tahun di Semarang, makan
makanan di Warteg IBU YANTI (di Lamongan–Sampangan), hingga saat ini bergaul
sama orang Jawa. Nge–fansnya sama
orang Jawa, Bapak JOKOWI. Kalau bertemu beliau, saya mau bilang: “Pak, Film
hidup panjenengan apik tenan e, Pak.
Saya yang paling ingat itu tiga hal:
1)
Pesan
almarhum bapak soal Jodoh: “Keyakinan dan Kesungguhan”.
2)
Pesan
almarhum bapak soal cara melayani masyarakat waktu di warung soto.
3)
Pesan
almarhum mbah: “Sing Wani, ojo wedi–wedi.
Sing wedi, ojo wani-wani”.
Maturnuwon
sanget,
nggeh Pak. Karena panjenengan mengangkat “hidup” panjenengan
ke layar lebar. Kulo Sing wani, mboten
wedi–wedi maneh e, Pak.
Saya
jadi teringat lagi pesan Yang Kucinta, bahwa Dia tidak memberi yang saya
inginkan, tapi yang saya butuhkan.
|
Tidakkah kau tahu setiap kali kutemui zainab
Selalu kucium semerbak wanginya.
Makanya saya selalu finish di halaman 13. Saya ingin
menamatkan ‘kertas’ buku ini. Tapi kebutuhan hati saya, terpenuhi di tiga belas
halaman ‘kertas’ buku La–Tahzan. Saya jadi teringat lagi pesan Yang Kucinta,
bahwa Dia tidak memberi yang saya inginkan, tapi yang saya butuhkan. Nah, ya? Bagaimana coba caranya, saya
mengabaikan Dia, Yang Kucinta. Gemes,
segemes–gemes-nya hatiku dibuat-Nya.
Oke lanjut lagi soal
saya (hehe, maaf ya! kan judul babnya:
Kenalkan, saya Mirda! Jadi, semua yang add di bab ini, ya adanya tentang saya,
saya lagi, dan tetap saya lagi, sabar ya!? hehe).
Bidang ilmu yang saya tekuni adalah Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi
(PJKR/Penjaskesrek). Jujur, saat ini
saya menulis nama bidang ilmu yang saya tekuni ini, saya terasa ditarik jiwa
raga saya ke kampus tercinta. Saya lantas melihat mahasiswa–mahasiswa saya,
dengan tingkah pola konyol, serampangan
mereka. Mereka yang selalu merasa diri kritis, tapi sebenarnya tidak. Mereka
yang selalu merasa spesial, karena gelar ‘anak penjas’ yang meraka sandang. Mereka,
benar–benar seperti apa yang digambarkan oleh J. Sumardianta dalam “Guru Gokil
Murid Unyu”–nya.
Para murid bukan lagi kertas kosong yang bisa ditulisi apa
saja oleh para pengajar. Mereka begitu kritis dan enggan duduk diam.
Ya! Ada perbedaan
pendapat antara saya dengan beliau. Sebelumnya saya mengatakan: Mereka yang
selalu merasa diri kritis, tapi sebenarnya tidak, sedangkan beliau mengatakan:
mereka begitu kritis. Itu yang nampak, tapi sebenarnya maknanya sama. Karena J. Sumardianta telah
lebih dulu “menekankan” pada saya dan pembaca lainnya.
Selamat datang di zaman digital, zaman dimana anak-anak muda
disebut alay alias anak layangan. Sebuah generasi bermental speedboat yang
gemar berlari kencang di atas permukaan arus dangkal.
Dan beliau melanjutkan
lagi:
Untuk mengejar para murid, guru gokil tidak cukup hanya
berenang saja, tetapi harus menyaru sebagai kapal selam, membawa murid bergerak
perlahan di kedalaman makna.
Perasaan saya saat
menulis kalimat ini, seperti sedang ditikam pasak yang turun dari langit
ketujuh, tepat di jantung. Sesak hati ini bukan buatan. Dunia pendidikan ini
sedang oleng, dihantam badai. Tapi, hanya segelintir yang merasakan. Maaf, saya
tidak sedang menyindir anda, tapi menyindir diri sendiri. Bisa-bisanya saya
bangga menjadi lulusan terbaik pada almamater saya (UNNES). Rasa bangga saya
dulu, hmmmh, rasanya teramat mewah,
terpandang, terpuji, melayang. Apalagi ditambah produk permainan basket taki
saya, dikenal dimana-mana. Orang lain mah,
lewat! Keciiil…!!!
Sombongnya saya atas
diri sendiri. Padahal semua yang saya raih itu menuntut TANGGUNG JAWAB BESAR,
yang saya tidak pernah sadari, hingga usia saya genap 30 tahun. Bodohnya diri
ini, bego’-nya saya, hina!!!
Sehina-hinanya manusia. Merasa diri selalu teratas, terbaik, paling pintar.
Padahal justru sebaliknya. Saya, nama saya Mirda. Anak Pertama dari pasangan almarhum
Alex Jusuf Pauweni dan Aisah R. Pomatahu.
Papa, mama…
Maaf, saya telah tumbuh sebagai anak yang tak tahu diuntung.
Tak pernah ingat jasa mama dan papa, tak pernah mengenang kasih sayang kalian.
Papaku sayang…
Telah kutemukan suratmu yang papa tujukan ke mama. Surat
berisi motivasi untuk mama, dalam rangka penyelesaian studinya. Surat yang
mengabarkan bahwa bayi Mirdayani Pauweni dalam keadaan sehat wal’afiat, dan
minum susu beras putih. Saya dulu lucukah papa? Karena saat ini, orang-orang
suka menghina hidung pesekku. Orang memanggilku “pesek”, papa? Tapi mereka
memanggilku dengan penuh rasa sayang,
walaupun
dalam bentuk hinaan.
Papaku…
Saya amat sangat merindukan kehadiranmu. Bingung anakmu, Pa.
Saat sedih mendera, selalu kusebut namamu. Setelah kusebut nama Yang Kucinta.
Ingin kubermanja dipangkuanmu, Pa. Bercerita soal hidupku yang hina, yang
sempat kutersesat. Tapi, mengunjungi nisanmu, Pa. Anakmu ini tidak sanggup.
Kasih sayangmu telah saya balas dengan air tuba. Seperti lagu ya, papaku?
Papaku…
Saya rasa telah cukup 30 tahunku, Pa. Saya telah mengajukan
lamaran pada-Nya. Insha Allah diterima, Pa. Teriring salam dan doa untukmu,
Papaku tercinta.
Dari Anak pesekmu: MIRDA.
Ehem!!! Maaf, saya izin melanjutkan tulisan saya, nggeh? Hehe, I am sorry, but this is me guys. Inilah saya, saya yang
memiliki banyak prinsip dalam hidup. Terserah, orang mau bilang saya tidak konsisten.
Prinsip kok banyak, lah prinsip pelatihan (training) saja banyak, kok! Apalagi prinsip hidup. Biar ndak gampang ‘keseleo’ toh hatiku. Prinsip satu meneguhkan prinsip yang
lainnya. Hahaha!!! Yang punya ujung
pena masih saya, loh ya!!!
Salah satu prinsip saya
adalah:
Kedewasaan dan Kesuksesan itu adalah pakaian, dan saya hanya
akan menggunakannya, SEWAKTU-WAKTU. Jika saya memerlukannya.
Untuk itu saya amat
senang, untuk selalu, senantiasa berada di luar zona aman. Terima kasih untuk
J. Sumardianta, yang mengingatkan saya dalam “Guru Gokil Murid Unyu”-nya (maaf
ya, pak. Nama anda saya sebut terus. Ndak
izin lagi, Pak?), bahwa tidak ada pertumbuhan dalam zona aman.
‘Api’ saya menyala terus
ini. Bahan bakarnya muantap! La-Tahzan oleh Dr. ‘Aidh al-Qarni, Guru Gokil Murid Unyu oleh J.
Sumardianta, dan JOKOWI film.
Jujur, kadang saya ngeri
dengan diri sendiri. Karena pola saya mulai terbentuk. Saya hanya berharap,
Yang Kucinta terus mengajarkan sabar dan ikhlas. Karena untuk saat ini,
satu-satunya tempat saya berpegangan dan bersandar adalah sholat-ku. Sementara
itu, sholat-ku kadang tidak saya dirikan.
Hm! Buntu seketika. Tulisan saya ini buntu. Hahaha, wong urip kuwi pancen nikmat. Rak sah di gawe mumet. Ya, ya, ya! Bener, bener, kalau buntu, ya berhenti.
Tunggu ada ide lagi. Chacha maricha hey,
hey, kalau begitu.
Untuk bagian ini, saya
sudahi sampai disini. Karena seisi buku ini tentang anak bangsa, yakni saya
sendiri. Jadi saya memutuskan, untuk membagi cerita tentang anak bangsa ini
dalam beberapa bagian. Semoga tidak bosan, ya? Duh, khawatir loh, saya.
Buku saya ndak dibaca sampai habis.
Ya, tapi kata Dr. ‘Aidh al-Qarni dalam La-Tahzan-nya halaman 8-9, begini:
Jangan pernah mendahului sesuatu yang belum
terjadi! …
Hari esok
adalah sesuatu yang belum nyata dan dapat diraba, belum berwujud, dan tidak
memiliki rasa dan warna …
Biarkan hari esok itu datang dengan sendirinya,
jangan pernah menanyakan kabar beritanya, dan jangan pula menanti serangan
petakanya. Sebab, hari ini Anda sudah sangat sibuk.
Hahaha!!! Jadi, saya ndak
worry lagi. Kalau anda senang, monggo!
Ya, kalau ndak, ya ndak pa pa toh, ya!!! Hehehe…
~Prinsip Hidup Saya, Yang Bikin Mumet Banyak Orang
“Maunya Melayani,
Bukannya Dilayani”~
Sudah saya bilang, loh, ya! Mikirmu, ndak usah yang
saru-saru. Sing sakarep-karepmu dewek! Mesti, kalo ngomong melayani,
dilayani, ckckck …
Sampun, nggeh! Saya mau melanjutkan tulisan saya ini. Di bagian
ini saya mau berkisah, tentang bagaimana saya. Mulai dari urusan sertifikasi
dosen (serdos). Saya jujur lagi (tapi sebenarnya, semua tulisan ini saya nulisnya penuh kejujuran, loh!). saya sewaktu mengisi deskripsi
diri itu, bunuh diri e! Saya terlalu
jujur. Saya menguraikan dalam deskripsi diri, bahwa saya tidak menyusun
perangkat perkuliahan, baik silabus, kontrak perkuliahan, hingga satuan acara
perkuliahan. Benar-benar bunuh diri, kan? Sertifikasi dosen, yang lain sibuk
“menggombali”, lah saya? Sibuk jujur
untuk bunuh diri. Tapi, ya begitu. Susah loh,
menemukan orang jujur seperti saya di zaman sekarang ini, (hahay!!! Yo, ben toh! Sakarepku dewek! Lagi-lagi
ujung penanya masih ada ditanganku. Hahaha!!!
Tobat, bingung! Siapa suruh mbaca buku-ku.
Tapi, ya jangan ditutup dulu toh, ben ditamatkan
mbaca-nya, k’napa? Manyun loh saya,
kalo sampe ndak!)
Maksud dan tujuan saya
sederhana saja. Saya sengaja ingin menyedot perhatian para pemikir-pemikir dari
universitas lain, yang sudah lama ‘pensiun dini’. Saya sadar, jika asesor yang
memeriksa data sertifikasi dosen saya adalah orang yang saya cari, maka beliau
MUNGKIN akan meluluskan saya, kemudian akan mencari hingga menemukan dan
memarahi saya habis-habisan, karena main-main dengan sertifikasi dosen. Dan,
jika, asesor saya bukanlah orang yang ‘tepat’, maka saya akan ikut lagi
sertifikasi dosen gelombang berikutnya.
Saya melampirkan
deskripsi diri saya di bagian akhir buku ini. Yang baik silahkan diikuti, yang
jelek ‘dibuang’, ya!? Hehe! Masih
saja saya khawatir. Padahal di sebelah saya ada buku La-Tahzan. Kesimpulannya:
semua yang akan terjadi nanti adalah yang terbaik. Karena sudah di-Qadar oleh
Yang Kucinta. Jadi, tidak pantas rasanya untuk diri ini berkhawatir-ria.
Sudah-lah soal serdos
itu, “Wes!!!” Gledek bunyi seketika,
saat saya menuliskan bagian ini. Saya seolah menghibur diri, dan gledeknya
berbunyi dua kali, seolah menimpali saya dengan kata “kasian, ya!?” Kata yang
sering saya ucapkan pada mahasiswaku ‘orang-orang sengsara’, yang kalau mereka
curhat dengan seriusnya, saya malah menimpali dengan kata-kata tadi: “Kasian,
ya!?”.
Mahasiswaku…
Apa sebenarnya yang ada dalam benak kalian?
Kalian menatap masa depan terlalu jauh.
10, 20, hingga 30 tahun ke depan.
Padahal mahasiswaku,
Masa depan kalian, masa depan saya, masa depan
setiap orang
Itu adalah setiap detik yang kita jalani.
Setiap detiknya… SETIAP DETIK-nya.
Karena setiap detik itu, usia kita menguap,
mahasiswaku…
Masihkah kita hidup besok?
Ah, salah!!! Bukan begitu bentuk pertanyaan
tepatnya.
MASIH HIDUPKAH KITA SATU JAM YANG AKAN DATANG???
Kita sudah begitu yakinnya, kita sudah begitu
ingkarnya
Kita sudah begitu durhakanya pada DIA
YANG MAHA MEMILIKI HIDUP.
Mahasiswaku…
Adakah caraku yang berkenan untukmu?
Agar kalian sadar?
Jika mengikuti mauku,
Ku akan ciptakan mesin pencuci otak,
Ku cuci otak kalian, dan ku input semua data
Tentang bagaimana caranya hidup yang baik,
Yang tidak mengecewakan orang tua dan keluarga,
Yang kita bisa bersama membangun negeri tercinta.
Tapi, mahasiswaku…
Mauku itu adalah maunya orang yang berputus asa,
Kemauan yang serba instant.
Maunya: cepat prosesnya dan bagus hasilnya.
Di dunia ini, mana ada mahasiswaku? Mana ada?
Hm! Aku kurus saja butuh proses minimal 2 bulan,
Itu pun kalau leherku tak ‘sebesar’ perutku.
Kalian berusaha menyelesaikan “tuntutan” perkuliahan,
Kalian selalu merasa terpaksa mengikuti
perkuliahan,
Terpaksa mengerjakan tugas,
Kalian tidak pernah merasa membutuhkannya,
Membutuhkan proses, semua proses itu!!!
Mahasiswaku…
Aku sebenarnya paham karakter kalian,
Aku paham kebutuhan kalian tentang ilmu
pengetahuan,
Aku paham perbedaan kemampuan berpikir kalian,
Tapi aku kurang sabar dan bahkan kurang ikhlas,
Dalam membimbing kalian.
Aku manusia biasa, mahasiswaku…
Yang kalau aku mengatakan malas, ya aku malas!!!
Kalian pernahkan? Kusuruh kalian pulang karena
aku malas ngajar?
Pernahkan? Kucuekin sms kalian yang minta
bimbingan skripsi,
Ya, karena aku malas membimbing kalian!
Mahasiswaku…
Tidak sepantasnya, aku, dosen kalian ini
menyalahkan kalian.
Karena, aku yang memberi contoh, bukan sedikit,
tapi banyak!!!
Contoh yang tidak baik yang aku berikan pada
kalian, dan
Kalian tertawa senang, dan menyebutku sebagai
dosen “gaul”.
Ini aku yang gila, atau kalian yang sinting!?
Mahasiswaku…
Bukannya aku kehabisan kata,
Tapi, sabar dan ikhlasku kurang cukup untuk
menghadapi kalian.
Tolong maafkan aku,
Dosen ini masih harus belajar banyak dari
kalian.
Lebay-nya kata-kataku, iya kan? Tapi saya menuliskannya dengan
hati yang hancur berkeping-keping (tolong diselotip nanti, ya?), dengan derita,
dengan kekecewaan (cokelat, mana, cokelat? Chunky
bar?), dengan penuh rasa putus asa. Tapi lagi-lagi buku di sebelah saya
itu, tiba-tiba mengajak saya bercanda, “La-Tahzan: Jangan bersedih”, katanya. Hm, lumayan membuat senyum menggelayut
di bawah hidung pesekku.
Berikan
saya kesempatan, untuk mengabdi pada negeri dengan cara saya, seperti anda yang masih diberikan
kesempatan hidup hingga saat ini dengan cara-Nya.
|
Saya jadi ingat, seorang
narasumber yang didatangkan Lembaga Penelitian institusi tempat saya mengabdi.
Beliau seorang profesor yang artikelnya bisa lolos di jurnal internasional
terakreditas. Beliau mengatakan, bahwa tugas guru dan terutama dosen itu bukan
mengajar, tapi MENELITI. Saat itu saya mengangguk membenarkan, “Benar juga,”
kata saya. Dulu, itu dulu, tapi sekarang TIDAK!!! Tugas guru dan dosen itu
mengajar dan MENDIDIK!!! Saya percaya sebagian besar guru dan dosen kewalahan
dalam mendidik dan juga mengajar, Tunggu!!! Sabar!!! Saya tahu, sekalipun kelakuan
saya kurang baik, seperti tidak dididik. Tapi, tolong berikan saya kesempatan, untuk
mengabdi pada negeri dengan cara saya, seperti anda yang masih diberikan kesempatan
hidup hingga saat ini dengan cara-Nya. Maaf, saya lanjut. Sekali lagi, maafkan
saya jika agak ekstrim.
Banyaknya model dan
metode mengajar membuat bingung banyak guru dan dosen untuk mengaplikasikannya.
Singkat kata, kalau bagi
saya, metode mengajar dan mendidik yang paling jitu adalah metode sabar, dan
metode ikhlas. Sabar menghadapi beragam karakter anak didik dan ikhlas menerima
tingkat kemampuan anak didik yang berbeda-beda. Tanpa harus membandingkan antara
si-A dan si-B, si-B dan si-C, si-C dan si-A.
Selama ini saya sebagai
pendidik selalu memaksakan kehendak pada anak didik. Selalu memaksa mereka
untuk beradaptasi dengan karakter saya, baik sikap dan gaya mengajar. Tapi amat
jarang untuk saya sendiri memikirkan bagaimana cara mereka beradaptasi. Bisakah
mereka, atau kesulitankah mereka. Saya juga sering bersu’uzon (berprasangka buruk) ketika mereka kehilangan konsentrasi
dalam perkuliahan. Saya menuduh mereka remeh terhadap saya, atau terhadap mata
kuliah yang saya ampu. Baru belakangan ini, saya tahu kalau saya salah besar
menganggap mereka demikian.
Sedikit saya cerita
dulu, saya amat senang, jika punya kesempatan berkunjung di rumah mahasiswa.
Saat berkunjung, saya belajar banyak dari mereka tentang kehidupan. Dalam hidup
itu kita berdampingan, untuk itu dibutuhkan pengertian agar tercipta kedamaian
hidup, sekalipun hidup dalam keterbatasan dan kesederhanaan. Oleh sebabnya kita
membutuhkan kesabaran dan keikhlasan.
Saya sering kaget
sendiri dengan kenyataan hidup yang dihadapi mahasiswa-mahasiswa saya. Diantara
mereka, ada yang bekerja di tempat pencucian mobil, ada yang bekerja di rumah
makan, tanpa bayaran se-sen-pun, yang penting bisa tidur dan makan gratis, ada
yang jadi tukang parkir, tukang bentor (kenderaan umum untuk wilayah Gorontalo
dan sekitarnya), bahkan ada anak yatim piatu bekerja sendiri mengumpulkan receh
untuk makan dan kuliahnya. Amat sangat bertolak belakang dengan keadaan saya.
Pernah saya menghabiskan uang lima juta rupiah dalam satu jam. Gila! Sinting! Bego’! Bodoh! Boleh, ya!?! Saya hidup
berfoya-foya sementara mahasiswaku jatuh bangun untuk mempertahankan status
kemahasiswaannya, karena terkendala biaya. Bisa-bisanya manusia seperti saya
bisa berdiri tegak dimuka bumi? GO TO THE
HELL, MIRDA!!! Dasar tidak tahu diuntung! Sudah hidup enak, kurang peka,
tapi masih sering mengeluh.
Sejak saat itu, sejak
saya dekat dengan mahasiswa dan saya tahu latar belakang mereka. Saya berhenti
bersu’uzon pada mahasiswa. Jika
mereka menguap di kelas atau tertidur di kelas atau tidak bisa fokus pada apa
yang diajarkan. Hakekatnya mereka diambang batas kemampuan fisik mereka,
apalagi terdapat sejumlah mata kuliah teori/praktek yang mereka kontrak selain
mata kuliah saya.
Intinya, saya berhenti su’uzon untuk menyumpal mulut saya, agar
tidak terlalu banyak mengeluh, menghadapi adik-adikku.
Tahun lalu, saya
mendapat bimbingan PPL saya terpencar lokasi latihan mengajarnya. Jika bisa
digambarkan lokasi PPL bimbingan saya letaknya seperti batang katapel yang
berbentuk Y. Ujung pegangannya adalah lokasi tempat tinggal saya, dan bimbingan
saya yang berjumlah 20 orang tersebar dari ujung ke ujung V-nya. Dua mahasiswa
berlokasi di Kecamatan Gentuma Raya, perjalanan dengan waktu tempuh tiga jam
dari tempat tinggal saya. Enam orang mahasiswa di Kecamatan Atinggola,
perjalanan satu jam dari Kecamatan Gentuma. Kecamatan Atinggola menempati ujung
kanan V dari katapel. Dua orang di Kecamatan Monano, perjalanan tiga jam dari
Kecamatan Atinggola karena Kecamatan ini terletak beberapa desa dekat dari
tikungan V. Empat orang di Kecamatan Sumalata, perjalanan tiga jam dari
Kecamatan Monano, dan enam orang sisanya di Kecamatan Tolinggula, perjalanan
satu jam dari Kecamatan Sumalata. Kedua Kecamatan, Sumalata dan Tolinggula ada
di ujung kiri V. Saya mengunjungi lokasi bimbingan saya dengan “Moi-Moi” motor
Mio hijau kesayangan, seorang diri. Untuk bisa mempelajari penyesuaian karakter
bimbingan saya dengan lingkungan tempat mengajarnya, saya menginap di lokasi
PPL bimbingan secara berturut-turut. Sehari di Kecamatan Atinggola, sehari di
Kecamatan Monano, sehari di Kecamatan Sumalata, sehari di Tolinggula.
Meninggalkan yang terkasih beserta permata-permata titipan Tuhan di rumah
selama lima hari, dan jam mengajar saya di kampus.
Repot! Teman-teman
sejawat saya kurang berkenan karenanya. Mereka menginginkan kemudahan. Jadi
mereka melepas bimbingan mereka dan menunjuk bimbingan baru yang lokasinya ada
dalam satu wilayah. Ada satu hal yang tidak diketahui teman-teman saya ketika
itu. Mahasiswa bimbingan mereka, menantikan kedatangan mereka. Menanti was-was,
karena kabar bahwa segera terjadi pertukaran pembimbing sesuai pembimbingan
pada lokasi KKS (Kuliah Kerja Sibermas). Semua mahasiswa saat itu dilanda
gundah gulana, karena mereka telah memahami karakter pembimbing mereka dengan
baik. Mereka enggan berganti pembimbing, enggan untuk adaptasi lagi. Tapi,
sudahlah! Saya hanya anak kemarin sore, ‘rakyat jelata’ pula di kampus.
Melepas bimbinganku saat
itu, saya hanya bisa menangis sedih. Dilema; Bersikeras, yang susah mahasiswa.
Ikuti arus, bimbinganku mengamuk dan merajuk dalam diam. Hehehe, pintar-pintar saya saja membujuk mereka. Saya menjelaskan
pada mereka tentang tujuan akhir PPL. Mereka mendapatkan pengalaman mengajar di
lapangan. Soal siapa yang membimbing itu tidak penting, yang paling penting
adalah mereka latihan mengajar dan dibimbing. Semuanya selesai, “Toh, kita masih bisa bertemu di kampus,
membicarakan soal penyelesaian studi,” hibur saya pada mereka ketika itu.
Saya sedih, tapi tidak
berlangsung lama, karena bimbinganku yang baru, ternyata telah menantikanku
lama dalam diam, dan begitu tahu saya pembimbing mereka. Mereka bersorak dalam
ramai. “Anak-anak sinting!!!” Bertemu orang seperti saya malah senang. Padahal
saya selalu ‘kejam’ dalam membimbing.
Ini hidupku, milikku.
Tapi ternyata, diri ini banyak yang punya, (Hmmm,
statement saya ini bisa membuat seseorang merajuk). Ya, tapi, memang
demikian adanya. Di rumah, diri ini kepunyaan setiap anggota keluarga. Kalau
anak saya berantem memperebutkan
saya, “Ini bundanya Aliyah!!!” teriak si bungsu, “Eh, ini bundanya Tata Ila!!!”
si nomor dua tidak mau kalah, “Bukan! Ini bundanya abang!” Timpal si sulung
yang ikut berebut memeluk saya. Datang bapak mereka, “Salah! Salah! Salah! Ini
bundanya ayah!” Kata si dia sambil mencium pipi saya. Ketiga anak saya
mengerutkan kening, dan kompak mendorong bapak mereka, “Iiiih, ayah ga boleh ikut-ikut!” teriak mereka
serempak. Nah, lo!? Empat orang saja
yang memperebutkan saya, bukan main repotku. Bayangin saja, gimana satu kampus ngotot-ngototan berebut
perhatian saya? Bisa kebayang ga, kira-kira?
Bagaimana terkenalnya saya? Jiyahahahahaha,
GUBRAK!!! Hmm!!! Dasar pesek! Pesek aja
bangga!
Mereka membutuhkan saya,
dan saya jadi berarti hidup ini, karenanya. Untuk itu, saya berhenti memikirkan
diri sendiri dan mulai memikirkan banyak orang. Kesenangan banyak orang adalah
kesenangan saya. Kesusahan banyak orang, juga adalah kesusahan saya.
Sebaliknya, kesenangan saya adalah kesenangan banyak orang. Tapi KESUSAHAN SAYA
ADALAH MILIK SAYA SENDIRI. Ini adalah didikan papa. Saya ingat benar, sewaktu
saya SD. Saya yang gembul punya tingkat kepercayaan diri diatas rata-rata.
Waktu itu karena nakalnya minta ampun, amit-amit
jabang bayi. Papa memutuskan untuk memindahkan saya dari sekolah lama ke
sekolah tempat papa ditugaskan sebagai kepala sekolah. Di sekolah ini saya jadi
bulan-bulanan, karena kegembulan saya. Saya lalu datang ke ruangan papa, ehem! Maksudnya ruang kepala sekolah,
dan mengadu, “Papa diledekin si
fulan,” curhat saya sok-sok manja.
Apa kata papa!? Tanpa sedikitpun teralihkan perhatiannya dari setumpuk dokumen
dihadapannya, papa seenaknya bilang, “Sudah, ndak usah lapor-lapor. Itu bukan urusannya papa. Kalo ada masalah, selesaikan sendiri.
Memang gendut!”
Au ah! Ndak usah di-omongin,
kesel kalau ingat body jadul.
Sebenarnya saya bisa, kok, menahan lapar. Puasa kan bisa. Tapi, hehehe, kalo persoalan lalowa (Bahasa gorontalo: gelojoh/rakus), hehehe, yo lain toh cerita’ne.
Sumpah, ndak tahan saya. Hehe, perkenalkan, saya Mirda.
Banyak cerita tentang
papa, tapi yang paling berkesan adalah soal sikap papa dalam kepemimpinannya.
Kalau saya boleh bilang, lebih hebat papa dari Pak Jokowi. Sepurane nggeh, pak. Ndak sopan
saya, membandingkan anda dengan papa saya. Tapi, memang begitu kenyataannya.
Saya berani menulis seperti ini, karena saya mengalaminya. Untung saya dan papa
tidak hidup di zaman pengorbanan nyawa manusia untuk upacara tertentu,
dihalalkan. Jika kami hidup di zaman itu, saya dan papa tentu akan jadi legenda
masyarakat. Tapi, Alhamdulillah,
tidak.
Ceritanya terjadi pada
tahun 1995, waktu itu menjelang Ujian Akhir Nasional. Zaman saya dulu, mah, namanya keren pisan: EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), kalau saya
tidak salah ingat, begitu kepanjangannya. Papa sebagai kepala sekolah, sibuk
mengurusi banyak hal. Menjaga sekolah, memastikan sekolah kami layak untuk
berlangsungnya EBTANAS. Mengurusi siswa, juga guru-guru yang mengawas di
sekolah lain. Papa sangat sibuk, tapi tidak pernah terlihat galau-galau tingkat dewa, bahkan hingga
pengumuman kelulusan dilaksanakan.
Papa, papa.
Kesusahannya, selalu menjadi miliknya sendiri. Saya baru tahu kalau papa demikian
gundahnya selama masa penantian kelulusan. Gundah memikirkan kelulusan
siswa-siswanya. Saya ketika itu mana paham? Benar badan saya saja yang besar,
tapi kematangan berpikir saya benar-benar mengikuti usia saya yang masih 11
tahun saat itu.
Seperti biasa, papa dan
beberapa guru duduk-duduk santai di ruang guru pada malam hari. Pikir saya
mereka hanya bercerita biasa, karena mereka sering tertawa karena hal yang
lucu. Tapi setelah diingat-ingat, ternyata papa mengevaluasi kerja pada malam
hari, di waktu santai dan ketika penat sudah berkurang setelah istrahat sejenak
dari dunia mereka. Sambil ngopi dan nge-pisang goreng bersama. Waktu itu
pukul delapan malam, saya asyik bermain dengan kedua adik saya, mondar-mandir
ikut ribut di ruangan tersebut. Samar-samar saya mendengar pembicaraan papa
dengan guru-guru.
“Alhamdulillah, anak-anak semua lulus, ya pak?” Kata seorang guru,
“Iya, Alhamdulillah,” sambung papa,
“Tapi kalau saja ada yang tidak lulus dari anak-anak itu,” kata papa lagi
sambil sesekali melihat ke arah saya yang ribut dengan adik-adik, “terpaksa,
saya menukar kelulusan Mirda dengan anak yang tidak lulus itu.” Tegas papa,
yang ditimpali tertawa lucu salah seorang guru, “Tidak boleh pak! Hal yang
demikian dilakukan, tidak adil sama sekali buat Mirda. Bagus, jika yang lulus
hanya satu orang siswa saja. Tapi kalau lebih dari satu? Bapak mau tukar
kelulusan Mirda dengan siapa? Dan bagaimana dengan nasib siswa lainnya?” Kata
bapak guru, yang kini telah berpulang ke Rahmatullah
itu.
Saya selalu tersenyum jika
ingat papa. Hari ini adalah tanggal 3 Mei. Tepat hari ulang tahun saya. Hari
sebelumnya saya menerima surat undangan dari Senat Mahasiswa Fakultas, untuk
menjadi instruktur senam aerobik pada acara mereka. Mulanya saya enggan
memenuhi undangan tersebut, karena takut dikerjai mahasiswa se-antero fakultas.
Jadi, saya mencari alasan untuk tidak menghadiri acara tersebut. Adapun alasan
saya: Tanggal 3 Mei adalah hari ulang tahun saya, dan tanggal kematian papa.
Jadi saya berniat ziarah ke kubur papa di pagi hari. Niat saya sudah bulat,
untuk tidak menghadiri acara tersebut, hingga tiba waktunya sholat subuh. Usai
sholat saya terpekur, mereka sudah menghargai saya dengan mengirimkan surat
undangan. Jika papa masih hidup, sekalipun papa terbaring tak berdaya di rumah
sakit. Papa pasti akan menyuruh saya menghargai undangan orang lain,
dibandingkan papa saya sendiri. Papa, bisa mengorbankan kelulusan anaknya
sendiri demi orang lain. Papa ingin saya mengikuti jejaknya, untuk menghargai
orang lain dari pada dirinya sendiri. Dan memang benar, bukankah batu nisan
papa tidak akan berpindah kemana-mana? Sedangkan acaranya belum tentu akan
diadakan lagi dalam waktu dekat, mungkin tahun depan sesuai gilirian fakultas.
Ziarah ke kubur papa bisa setelah acara itu selesai, dan kalau pun saya
dikerjai, hmm, ya, namanya artis,
selebriti tingkat kampus, ya wajarlah dikerjai, bukan begitu? Tapi, emang Ge-eR saya-nya. Buktinya ga ada tuh, acara kerja-mengerjai. Mirda, Mirda, mbok dadi wong, ojo kege-eran, napa,
Mirda?
Maaf, saya memang begini
adanya. Si hina dari goa hantu ini memang begini keadaannya. Selalu gede rasa (GR), bangga dengan peseknya, sok-sok artis, walau memang aslingan cakep! Hahaha, pret!!! Eh, tapi emang cakep, kok! (Maksa dikit, boleh
ya?).
Saya ingin menuliskan
status Facebook saya disini. Status khusus ulang tahun saya. Maaf, jika
tulisannya tidak saya rubah agar merujuk pada kaedah penulisan Bahasa yang baik
dan benar. Saya mengikuti tulisan pada status saya, dan ini dia!
Malam, 2
Mei 2014
Papakuuu…
Besok main ya ke rumah papa J
Kangen papaku
Hehe
3 Mei 2014
Buat peserta PPG
Anda.. ya dek?
Anda itu sewaktu kuliah itu penakut!!!
Takut dosen, kalo dosen ancam badiam kan?
Tapi sya tau anda berontak dibelakang mereka
Nah, skarang,
Saat anda jadi guru,
Kok ya kalian suka mengancam???
Heheeey, siswa sekarang beda dgn kalian
Coba-coba ancam mereka, sekolah gratis,
Hahaha, pindah-pindah sekolah ga masyalah!!!
SBI, skolah mahal, bisa2 anda yg diusir dr
skolah…
Hahaha PRET!!!
3 Mei 2014
Papakuu
Hari ini genap 18 tahun papa transfer alam
Apa kabar papa disana?
Hahaha
Iya, pa, ga usah nanya, orang tiap hari papa
sama Mirda
Kangen pa
Dunia ini sdemikian berubahny,
Tapi pa,
Dunia ini dalam genggamanku, BUKAN SEBALIKNYA
Papa yang terbaik
Pergi dgn jalan trbaik, mninggalkan yg trbaik
Smoga slalu dpt tempat trbaik, bersama orang2
trbaik
Love U pa..
Anakmu ini, mewarisi 24 gen mu, jdi berhentilah
khwatir.
3 Mei 2014
Maaf, doa smoga sukses slalu, banyak rezeki
Saya reject ya J
Saya request: doakan sya agar slalu penuh kasih
syang pada makhluk Tuhan, tnpa pilih kasih J
Jujur saya merasa
sendiri di dunia ini. Satu-satunya harta yang saya punya adalah permata-permata
titipan Tuhan. Saya pesimis, jika ada yang sama prinsip hidupnya dengan saya
“Maunya melayani, bukan dilayani”. Hmm, daripada
saya menasehati banyak orang, lebih baik saya menasehati diri sendiri saja:
Mirda…
Hakekatnya kamu sebagai
manusia itu pelupa,
Lupa kebaikan orang lain
pada dirimu, dan
Lupa kejahatanmu pada
orang lain.
Hakekatnya kamu sebagai
manusia juga pengingat sejati, Mirda!
Selalu ingat kebaikanmu
pada orang lain, dan
Selalu ingat kejahatan
orang lain pada dirimu.
Yang Kucinta…
Takut jika harus terus
sendiri di dunia ini, Yang Kucinta.
Maaf jika ku senantiasa
mengeluh pada-Mu,
Tapi, Yang Kucinta…
Adakah temanku yang sama
pola pikirnya denganku?
Aku ingin membangun
negeriku, bersamanya.
Satu-satunya orang, ya
cuma Pak Jokowi.
Hahaha…
Ngimpi, kok ketinggian
toh, Jeng?
Yang Kucinta…
Ini keyakinan, tak
seorang pun bisa merubahnya!!!
Satu-satunya yang belum
matang pada diriku adalah kesungguhan.
Kesungguhanku masih bisa
dipatahkan oleh rasa malasku, amarahku, dan egoku.
Yang Kucinta…
Ku t’lah tiba di titik
ini,
Titik nadir!
Jika tak ada temanku,
Yang Kucinta.
Ada sholatku,
Ada Kamu, Yang Kucinta.
Tapi kadang saya
jengkel, e!
Kamu suka mempermainkan
perasaanku, Yang Kucinta.
Tapi-nya lagi,
Hidupku adalah milik-Mu.
Dadine, yo, sakarep-Mu
dewek, toh!
Asal, Kamu tidak
mengabaikan aku,
Kamu tidak
meninggalkanku,
Karena aku tidak sanggup
hidup tanpa cinta-Mu
Yang Kucinta.
Kamu, Yang Memiliki
Hidup dan Matiku,
Kamu, Yang Maha
Bijaksana,
Kamu, Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang.
Yang Kucinta,
Aku yakin, banyak yang
membaca ini, iri!
Mereka iri dengan
kedekatanku dengan-Mu.
Mereka iri, sampai tidak
bisa menerima
Aku memanggil-Mu dengan
sebutan YANG KUCINTA, dan aku menyebut-Mu, KAMU.
Yang Kucinta…
Mereka hanya manusia
biasa, kan?
Jadi buat apa aku takut
mereka?
Sama-sama dihizab kok,
nanti.
Love U, YANG KUCINTA…
Bagian ini selesai,
mari! Saya hantarkan anda pada kunci hidup saya, yakni: JANJI DAN IKRAR KEMPO. Gassho!!! Rey!!! Saya Kenshi, dari Dojo
Kampus 3 FIKK, untuk saat ini masih tergabung dalam Dojo Universitas Negeri
Gorontalo. Nomor Induk Kenshi (NIK): 14.133.02.01.015.
Janji dan Ikrar Kempo
saya jadikan kunci hidup saya yang ketiga, setelah dua yang utama. Karena tiga
kunci hidup saya ini menjadi acuan saya berprilaku. Terkait dengan kempo,
cabang olahraga yang saya pilih dan berhasil membuat saya jatuh cinta. Saya
agak miris, karena banyak kenshi yang mengabaikan janji dan ikrar. Sekedar saja
sebagai hafalan untuk dikumandangkan sebelum latihan dimulai. Semoga tulisan saya
mengundang perhatian banyak kenshi. Agar mereka bisa sedikit menyadari apa yang
seharusnya disadari.
Kenshi! Saya ‘berwarna’
putih, satu-satunya lambang yang saya punya adalah badge dojo. Saya menolak untuk ikut ujian manji pada tanggal 9 Mei
2014. Karena saya kurang berniat mengejar ‘warna’, saya ingin mengejar ‘isi’
kempo. Saya mohon, kenshi! Untuk tidak melanggar janji anda sebagai kenshi.
Janji yang pertama: Akan selalu bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati
atasan, TIDAK MEREMEHKAN BAWAHAN, SALING MENGASIHI dan SALING MENOLONG.
Kenshi! Bacalah dulu,
jika tidak berkenan, baru hubungi saya: 082346952336. Facebook: Tata Mirda Pauweni. Asal identitas anda jelas. Insya Allah, saya respon protes anda.{}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar